Selasa, 08 Mei 2012

ATURAN-ATURAN HUKUM PERDAGANGAN MENURUT GATT

A. Pengantar

Salah satu sumber hukum yang penting dalam hukum perdagangan internasional adalah Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariff and Trade atau GATT). Muatan di dalamnya tidak saja penting dalam mengatur kebijakan perdagangan antar negara tetapi juga dalam taraf tertentu aturannya menyangkut pula aturan perdagangan antara pengusaha. Contoh yang terakhir ini adalah pengaturan mengenai barang tiruan atau kepabeanan.
GATT dibentuk pada Oktober tahun 1947. Lahirnya WTO pada tahun 1994 membawa dua perubahan yang cukup penting bagi GATT. Pertama, WTO mengambil alih GATT dan menjadikannya salah satu lampiran aturan WTO. Kedua, prinsip-prinsip GATT menjadi kerangka aturan bagi bidang-bidang baru dalam perjanjian WTO, khususnya Perjanjian mengenai Jasa (GATS), Penanaman Modal (TRIMs), dan juga dalam Perjanjian mengenai Perdagangan yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (TRIPs).
Tujuan pembentukan GATT adalah untuk menciptkan suatu iklim perdagangan internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta untuk menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan, lapangan kerja dan iklim perdagangan yang sehat. Untuk mencapai tujuan itu, sistem perdagangan internasional yang diupayakan GATT adalah sistem yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di seluruh dunia.
Tujuan utama GATT dapat tampak dengan jelas pada preambule- nya. Pada pokoknya ada empat tujuan penting yang hendak dicapai GATT:
1) meningkatkan taraf hidup umat manusia;
2) meningkatkan kesempatan kerja;

3) meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia; dan

4) meningkatkan produksi dan tukar menukar barang.

Ada tiga fungsi utama GATT dalam mencapai tujuannya: pertama, sebagai suatu perangkat ketentuan (aturan) multilateral yang mengatur transaksi perdagangan yang dilakukan oleh negara- negara anggota GATT dengan memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan (the ‘rules of the road’ for trade).
Kedua, sebagai suatu forum (wadah) perundingan perdagangan. Di sini diupayakan agar praktek perdagangan dapat dibebaskan dari rintangan-rintangan yang mengganggu (liberalisasi perdagangan). Selain itu, GATT mengupayakan agar aturan atau praktek perdagangan demikian itu menjadi jelas (predictable) baik melalui pembukaan pasar nasional atau melalui penegakan dan penyebarluasan pemberlakuan peraturannya.
Dalam perundingan tersebut, keputusan-keputusan mengenai materi-materi yang penting khususnya yang menyangkut ketentuan- ketentuan atau pasal-pasal GATT, keputusannya dibuat berdasarkan mayoritas biasa (Pasal XXV). Namun pada umumnya keputusan- keputusan demikian diambil tanpa harus mengikuti suatu cara pengambilan putusan yang formal: umumnya keputusan diambil berdasarkan konsensus.
Sejak berdiri, GATT telah mensponsori berbagai macam perundingan-perundingan utama/pokok yang biasanya disebut juga dengan istilah putaran (rounds). Tujuan dari putaran atau perundingan ini bertujuan untuk mempercepat liberalisasi perdagangan internasional.
Putaran perundingan perdagangan ini mempunyai keuntungan-

keuntungan sebagai berikut:

Pertama, perundingan perdagangan memungkinkan para pihak secara bersama-sama dapat memecahkan masalah-masalah perdagangan yang cukup luas;
Kedua, para pihak akan lebih mudah membahas komitmen- komitmen perdagangan di suatu putaran perundingan daripada membahasnya dalam lingkup bilateral;
Ketiga, negara-negara sedang berkembang dan negara-negara kurang maju akan lebih memiliki kesempatan yang lebih luas dalam membahas sistem perdagangan multilateral dalam lingkup suatu perundingan dan akan lebih menguntungkan negara-negara sedang berkembang dibandingkan apabila mereka berunding langsung dengan negara-negara maju; dan
Keempat, dalam merundingkan sektor perdagangan dunia yang sensitif, pembahasan atau perundingan akan relatif dapat lebih mudah dalam konteks suatu forum yang sifatnya global. Misalnya adalah pembahasan isu pertanian dalam Perundingan Uruguay.
Putaran-putaran pertama GATT pada umumnya difokuskan kepada upaya penurunan tarif. Penurunan tarif ini sudah berlangsung sejak pembentukan GATT pada tahun 1947. Sejak tahun 1947, putaran yang telah dilaksanakan adalah Putaran Jenewa (1947 – diikuti oleh 23 negara); Putaran Annecy-Perancis (1947 – 13 negara); Putaran Torquay-Inggris (1951 – 38 negara); Putaran Jenewa (1956
– 26 negara); Putaran Jenewa atau Putaran Dillon (1960-61 – 26 negara). Proses liberalisasi perdagangan ini terus berlanjut dalam putaran-putaran berikutnya, yaitu Putaran Kennedy (1964-67 diikuti oleh 62 negara yang khusus membahas tarif dan anti- dumping), Putaran Tokyo (1973-1979, diikuti 102 negara) dan Putaran Uruguay (1986 – 1994 diikuti oleh 123 negara).
Putaran Tokyo (1973 – 1979) dapat pula dianggap sebagai putaran yang terpenting sebelum Putaran Uruguay. Putaran Tokyo dipandang sebagai suatu ‘percobaan pertama’ yang berupaya
mereformasi sistem perdagangan internasional.

Seperti umumnya putaran-putaran perdagangan GATT sebelumnya, Putaran Tokyo bertujuan untuk terus menurunkan tarif secara progresif. Di akhir perundingan, negara-negara sepakat untuk memotong 1/3 dari tingkat tarif yang berlaku pada waktu itu. Putaran Tokyo mengalami kegagalan dan beberapa kesepakatan. Kegagalan yang dialaminya antara lain, tidak tercapainya kesepakatan negara-negara mengenai masalah-masalah yang melilit sektor pertanian dan kegagalan untuk membuat rumusan aturan mengenai ‘safeguards’, (tindakan-tindakan pengamanan).
Keberhasilan Putaran Tokyo yang patut dicatat antara lain tercapainya serangkaian kesepakatan aturan-aturan GATT, dan berhasilnya dicapainya 9 kesepakatan lainnya yakni :
1) Subsidi dan tindakan balasan (Subsidies and countervalling measures), yakni kesepakatan yang menafsirkan Pasal VI, XVI dan XXIII GATT;
2) Rintangan-rintangan teknik terhadap perdagangan (technical barrier to trade), yang kadang-kala disebut pula sebagai
‘Standard Code’);

3) Prosedur lisensi impor;

4) Kesepakatan mengenai pengadaan barang dan jasa pemerintah

(Government procurement);

5) Penaksiran bea cukai (Customs Valuation) yang menafsirkan pasal VII GATT;
6) Anti-Dumping, yang menafsirkan Pasal VI dan menggantikan

the Kennedy Round Anti-Dumping Code;

7) Pengaturan mengenai daging olahan (Bovine Meat

Arrangement);

8) Perdagangan dalam pesawat udara sipil (Trade in Civil

Aircraft).

Pada waktu putaran Tokyo dirampungkan, hanya sedikit negara yang mengikatkan diri kepada perjanjian-perjanjian atau kesepakatan hasil putaran Tokyo tersebut. Itu pun umumnya adalah negara-negara maju saja.
Di putaran Uruguay, sebagian dari kesepakatan tersebut di atas telah mengalami pembahasan dan perluasan. Kesepakatan- kesepakatan mengenai subsidi dan countervailing measures, rintangan-rintangan teknis terhadap perdagangan, lisensi impor, penaksiran bea cukai dan kesepakatan anti-dumping sekarang telah terlebur ke dalam komitmen WTO.

Hal tersebut berarti bahwa semua negara anggota WTO mau tidak mau tunduk dan terikat terhadap semua kesepakatan atau perjanjian tersebut. Sedangkan kesepakatan mengenai pengadaan barang-barang bagi pemerintah (government procurement), bovine meat, dairy products dan pesawat udara sipil masih tetap berada di bawah kesepakatan ‘plurilateral’ yang sifatnya terbuka bagi negara anggota WTO untuk tunduk atau tidak (sukarela) terhadap kesepakatan-kesepakatan yang disebut terakhir tersebut. Fungsi ketiga GATT adalah sebagai suatu ‘pengadilan’ internasional dimana para anggotanya menyelesaikan sengketa dagangnya dengan anggota-anggota GATT lainnya.
Fungsi penyelesaian sengketa ini sifatnya penting dan pengaturannya mengalami perkembangan yang menarik. Telah dikemukakan di atas, GATT semula hanyalah aturan kesepakatan mengenai perdagangan internasional. GATT bukan lembaga khusus yang dilengkapi dengan badan khusus atau aturan khusus tentang penyelesaian sengketa perdagangan multilateral.



B. Sejarah GATT

GATT dibentuk sebagai suatu dasar (atau wadah) yang sifatnya sementara setelah Perang Dunia II. Pada masa itu timbul kesadaran masyarakat internasional akan perlunya suatu lembaga multilateral di samping Bank Dunia dan IMF.
Kebutuhan akan adanya suatu lembaga multilateral yang khusus ini pada waktu itu sangat dirasakan benar. Pada waktu itu masyarakat internasional menemui kesulitan untuk mencapai kata sepakat mengenai pengurangan dan penghapusan berbagai pembatasan kuantitatif serta diskriminasi perdagangan. Hal ini dilakukan untuk mencegah terulangnya praktek proteksionisme yang berlangsung pada tahun 1930-an yang memukul perekonomian dunia.
Seperti disebutkan di muka, pada waktu pembentukannya, negara-negara yang pertama kali menjadi anggota adalah 23 negara. Ke-23 ini juga yang membuat dan merancang Piagam International Trade Organization (Organisasi Perdagangan Internasional) yang pada waktu itu direncanakan sebagai suatu badan khusus PBB.
Piagam tersebut dimaksudkan bukan saja untuk memberikan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan dalam perdagangan dunia tetapi juga membuat keputusan-keputusan mengenai ketenagakerjaan (employment), persetujuan komoditi, praktek-praktek restriktif (pembatasan) perdagangan, penanaman modal internasional dan jasa. Benih sejarah pembentukan GATT sebenarnya berawal dari pada waktu ditandatanganinya Piagam Atlantik (Atlantic Charter) pada bulan Agustus 1941. Salah satu tujuan dari piagam ini adalah menciptakan suatu sistem perdagangan dunia yang didasarkan pada non-diskriminasi dan kebebasan tukar menukar barang dan jasa.
Dengan tujuan tersebut, serangkaian pembahasan dan perundingan telah berlangsung antara tahun 1943-1944, khususnya antara Amerika Serikat, Inggris dan Kanada. Pada tanggal 6
Desember, Amerika Serikat pertama kalinya mengusulkan perlunya pembentukan suatu Organisasi Perdagangan Internasional (ITO).
Tujuan organisasi ini, menurut versi Amerika Serikat pada

waktu itu, adalah untuk menciptakan liberalisasi perdagangan
secara bertahap, memerangi monopoli, memperluas permintaan komoditi dan mengkoordinasi kebijakan perdagangan negara-negara.
Usul pembentukan suatu organisasi perdagangan ini disambut baik oleh ECOSOC (Economic and Social Council). Badan khusus PBB ini menyatakan keinginannya untuk menyelenggarakan suatu konperensi. Untuk maksud itu, negara-negara berhasil membentuk suatu komisi persiapan. Persidangan-persidangan komisi berlangsung di London dari tanggal 18 Oktober sampai dengan 26
Desember 1946. Komisi berhasil mengeluarkan suatu Rancangan

Piagam London (the London Draft Charter). Namun para anggota peserta pertemuan ini gagal mencapai kata sepakat untuk mengesahkan Rancangan Piagam tersebut.
Dengan adanya kegagalan ini kemudian negara-negara besar tersebut membentuk suatu komisi perancang yang beranggotakan Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Perancis dan negara-negara Benelux. Tugas komisi ini adalah mencari rumusan baru untuk merancang suatu organisasi perdagangan baru.
Komisi baru ini mengadakan pertemuan kedua yang berlangsung di Lake Succes, New York dari tanggal 20 Januari sampai 25
Februari 1947. Pertemuan ini membahas masalah-masalah tertentu

atau terbatas saja. Pertemuan tidak membahas hal-hal penting.

Pertemuan penting diselenggarakan di Jenewa dari bulan

April sampai November 1947. Dari tanggal 10 April sampai dengan

22 Agustus, panitia persiapan melanjutkan tugasnya membuat rancangan Piagam ITO, dan dari tanggal 10 April sampai 30
Oktober, perundingan-perundingan bilateral berlangsung antar
negara-negara anggota komisi, antara lain, Brazil, Burma, Ceylon, Pakistan dan Rhodesia Selatan.

Hasil perundingan mengenai konsesi timbal balik (reciprocal tariff concession) dicantumkan ke dalam GATT yang ditandatangani pada tanggal 30 Oktober 1947. Hasil perundingan tersebut berisi pula suatu kodifikasi sementara mengenai hubungan-hubungan perdagangan di antara negara-negara penandatangan. Berdasarkan persyaratan-persyaratan protokol tanggal 30 Oktober 1947, GATT ditetapkan sejak tanggal 1 Januari 1948, sambil berlakunya ITO.
Pertemuan penting keempat berlangsung di Havana (21

November 1947 – 24 Maret 1948). Pertemuan ini membahas Piagam ITO oleh delegasi dari 66 negara. Pertemuan berhasil mengesahkan Piagam Havana. Namun sampai dengan pertengahan tahun 1950-an, negara-negara peserta menemui kesulitan dalam meratifikasinya.
Hal ini lebih disebabkan karena Amerika Seriakt, pelaku utama dalam perdagangan dunia, pada tahun 1958, menyatakan bahwa negaranya tidak akan meratifikasi Piagam tersebut. Sejak itu pulalah ITO secara efektif menjadi tidak berfungsi sama sekali.
Meskipun tidak pernah berlaku, namun minimnya ratifikasi tersebut tidak menyebabkan GATT menjadi tidak berlaku. Para perunding GATT mengeluarkan suatu perjanjian internasional baru yaitu the Protocol of Provisional Application, yaitu suatu
protokol (perjanjian) yang memberlakukan GATT untuk sementara

(provisional). Sejak dikeluarkannya protokol inilah, GATT
kemudian terus berlaku sampai saat ini.

Pada tahun 1954 – 1955, teks GATT mengalami perubahan. Ada dua perubahan penting yang terjadi. Pertama, dikeluarkannya protokol yang merubah bagian 1 dan Pasal XXIX dan XXX dan protokol yang merubah preambule dan bagian 2 dan 3. Protokol pertama mensyaratkan penerimaan oleh semua negara peserta. Namun karena Uruguay tidak meratifikasinya, protokol ini menjadi tidak berlaku sejak tanggal 1 Januari 1968. Sedangkan protokol kedua mulai berlaku sejak tanggal 28 November 1957.
Pada tahun 1965, GATT mendapat tambahan bagian baru, yaitu bagian keempat. Bagian ini berlaku secara de facto tanggal 8
Februari 1965 dan mulai berlaku efektif tanggal 27 Juni 1965.

Bagian ini khusus mengatur kepentingan perluasan ekspor bagi negara-negara sedang berkembang (Pasal XXXVI – XXXVIII).



C. Ketentuan-ketentuan Perdagangan dalam GATT.

Ketentuan-ketentuan perdagangan yang membentuk suatu sistem perdagangan multilateral yang terkandung dalam GATT, memiliki 3 ketentuan utama. Pertama, dan yang paling penting adalah GATT itu sendiri beserta ke-38 pasalnya.
Ketentuan kedua, yang dihasilkan dari perundingan putaran Tokyo (Tokyo Round 1973-1979) adalah ketentuan-ketentuan yang mencakup anti-dumping, subsidi dan ketentuan non-tarif atau masalah-masalah sektoral. Meskipun keanggotaan pada ketentuan ke-
2 ini terbatas sifatnya, yaitu berkisar 30-an negara, namun demikian negara-negara ini menguasai sebagian besar perdagangan
dunia.
Yang ketiga adalah ketentuan mengenai “multi fibre arrangements”. Ketentuan ini merupakan pengecualian terhadap ketentuan-ketentuan GATT umumnya terutama menyangkut tekstil dan pakaian.



D. Prinsip-prinsip GATT.

Untuk mencapai tujuan-tujuannya, GATT berpedoman pada 5 prinsip utama. Prinsip yang dimaksud adalah:
1. Prinsip most-favoured-nation.

Prinsip ‘most-favoured-nation (MFN) ini termuat dalam pasal I GATT. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar non-diskriminatif. Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut biaya-biaya lainnya.
Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera dan tanpa syarat (‘immediately and unconditionally’) terhadap produk yang berasal atau yang diajukan kepada semua anggota GATT. Karena itu sesuatu negara tidak boleh memberikan perlakuan istimewa kepada negara lainnya atau melakukan tindakan diskriminasi terhadapnya. Prinsip ini tampak dalam pasal 4 perjanjian yang terkait dengan hak kekayaan intelektual (TRIPS) dan tercantum pula dalam pasal 2 Perjanjian mengenai Jasa (GATS).
Pendek kata, semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati keuntungan dari suatu
kebijaksanaan perdagangan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya prinsip ini mendapat pengecualian-pengecualiannya, khususnya dalam menyangkut kepentingan negara sedang berkembang.
Jadi, berdasarkan prinsip itu, suatu negara anggota pada pokoknya dapat menuntut untuk diperlakukan sama terhadap produk impor dan ekspornya di negara-negara anggota lain. Namun demikian ada beberapa pengecualian terhadap prinsip ini.
Pengecualian tersebut sebagian ada yang ditetapkan dalam pasal-pasal GATT itu sendiri dan sebagian lagi ada yang ditetapkan dalam putusan-putusan dalam konperensi-konperensi GATT melalui suatu penanggalan (waiver) dan prinsip-prinsip GATT berdasarkan Pasal XXV. Pengecualian yang dimaksud adalah:
(a) keuntungan yang diperoleh karena jarak lalu lintas (frontier traffic advantage), tidak boleh dikenakan terhadap anggota GATT lainnya (Pasal VI);
(b) perlakuan preferensi di wilayah-wilayah tertentu yang sudah ada (misalnya kerjasama ekonomi dalam ‘British Commonwealth’; the French Union (Perancis dengan negara- negara bekas koloninya); dan Banelux (Banelux Economic Union), tetap boleh terus dilaksanakan namun tingkat batas preferensinya tidak boleh dinaikan (Pasal I ayat 2-
4);

(c) anggota-anggota GATT yang membentuk suatu Customs Union atau Free Trade Area yang memenuhi persyaratan Pasal XXIV tidak harus memberikan perlakuan yang sama kepada negara anggota lainnya.
Untuk negara-negara yang membentuk pengaturan- pengaturan preferensial regional dan bilateral yang tidak memenuhi persyaratan Pasal XXIV, dapat membentuk pengecualian dengan menggunakan alasan ‘penanggalan’ (waiver) terhadap ketentuan GATT.
Penanggalan ini dapat pula dilakukan atau diminta oleh suatu negara anggota. Menurut prinsip ini suatu negara dapat, manakala ekonominya atau keadaan perdagangannya dalam keadaan yang sulit, dapat memohon pengecualian dari kewajiban tertentu yang ditetapkan oleh GATT.
(d) pemberian prefensi tarif olef negara-negara maju kepada produk impor dari negara yang sedang berkembang atau negara-negara yang kurang beruntung (least developed) melalui fasilitas Generalised System of Preference (sistem preferensi umum).
Pengecualian lainnya adalah apa yang disebut dengan ketentuan ‘pengamanan’ (safeguard rule). Pengecualian ini mengakui bahwa suatu pemerintah, apabila tidak mempunyai upaya lain, dapat melindungi atau memproteksi untuk sementara waktu industri dalam negerinya.
Pengaturan ‘safeguard’ ini yang diatur dalam Pasal XIX, memperbolehkan kebijakan demikian namun hanya dipakai dalam keadaan-keadaan tertentu saja. Suatu negara anggota dapat membatasi atau menangguhkan suatu konsesi tarif pada produk- produk yang diimpor dalam suatu jumlah (kuantitas) yang meningkat dan yang menyebabkan kerusakan serius (serious injury) terhadap produsen dalam negeri.
Dalam tahun-tahun belakangan ini, cukup banyak anggota GATT yang menerapkan pengaturan bilateral diskriminatif yang juga seringkali disebut dengan ‘voluntary export restraints’ (VERs). Kebijakan perdagangan ini dilakukan untuk menghindari salah satu isu yang cukup hangat dibahas dalam Putaran Uruguay yakni perdagangan tekstil.
VERs adalah cara 'halus' negara maju untuk menekan negara sedang berkembang yang umumnya adalah penghasil tekstil. Untuk membatasi masuknya produk tekstil ke dalam pasar dalam negerinya, negara maju secara halus menyatakan kepada negara berkembang untuk mengekspor tekstilnya dalam jumlah tertentu saja. Dalam hal
ini, negara maju menekankan bahwa pembatasan jumlah tersebut semata-mata haruslah sukarela sifatnya yang datang atau berasal dari kehendak negara berkembang.



2. Prinsip National Treatment.

Prinsip National Treatment terdapat dalam pasal III GATT. Menurut prinsip ini, produk dari suatu negara yang diimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri. Prinsip ini sifatnya berlaku luas. Prinsip ini juga berlaku terhadap semua macam pajak dan pungutan-pungutan lainnya. Ia berlaku pula terhadap perundang-undangan, pengaturan dan persyaratan-persyaratan (hukum) yang mempengaruhi penjualan, pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaan produk-produk di pasar dalam negeri. Prinsip ini juga memberikan perlindungan terhadap proteksionisme sebagai akibat upaya-upaya atau kebijakan administratif atau legislatif.
Prinsip national treatment dan prinsip MFN merupakan prinsip sentral dibandingkan dengan prinsip-prinsip lainnya dalam GATT. Kedua prinsip ini menjadi prinsip pada pengaturan bidang- bidang perdagangan yang kelak lahir di dalam perjanjian putaran Uruguay. Misalnya, prinsip ini tercantum dalam pasal 3 Perjanjian TRIPs. Kedua prinsip diberlakukan pula dalam the General Agreement on Trade in Service (GATS). Dalam GATS, negara-negara anggota WTO diwajibkan untuk memberlakukan perlakuan yang sama (MFN treatment) terhadap jasa-jasa atau para pemberi jasa dari suatu negara dengan negara lainnya.
Meskipun demikian, perjanjian WTO membolehkan suatu negara untuk meminta pembebasan dari penerapan kewajiban MFN ini yang mencakup upaya-upaya tertentu (specific measures) yang pada mulanya tidak dapat menawarkan perlakuan demikian.
Untuk maksud tersebut, manakala suatu negara meminta

pembebasan kewajiban MFN, maka permintaan tersebut akan ditinjau
setiap lima tahun. Pembebasan dari penerapan kewajiban MFN ini hanya boleh dilakukan untuk jangka waktu 10 tahun.
Prinsip national treatment merupakan suatu kewajiban dalam GATS yang mana negara-negara secara eksplisit harus menerapkan prinsip ini terhadap jasa-jasa atau kegiatan jasa-jasa tertentu. Oleh karena itulah prinsip national treatment atau perlakuan nasional ini pada umumnya merupakan hasil dari negosiasi atau perundingan di antara negara-negara anggota.

3. Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif.

Yang menjadi ketentuan dasar GATT adalah larangan restriksi kuantitatif yang merupakan rintangan terbesar terhadap GATT. Restriksi kuantitatif terhadap ekspor atau impor dalam bentuk apapun (misalnya penetapan kuota impor atau ekspor, restriksi penggunaan lisensi impor atau ekspor, pengawasan pembayaran produk-produk impor atau ekspor), pada umumnya dilarang (Pasal IX). Hal ini disebabkan karena praktek demikian mengganggu praktek perdagangan yang normal.
Restriksi kuantitatif dewasa ini tidak begitu meluas di negara maju. Namun demikian, tekstil, logam, dan beberapa produk tertentu, yang kebanyakan berasal dari negara-negara sedang berkembang masih acapkali terkena rintangan ini.
Namun demikian dalam pelaksanaannya, hal tersebut dapat dilakukan dalam hal: pertama, untuk mencegah terkurasnya produk- produk esensial di negara pengekspor; kedua, untuk melindungi pasal dalam negeri khususnya yang menyangkut produk pertanian dan perikanan;
ketiga, untuk mengamankan, berdasarkan escape clause (Pasal XIX), meningkatnya impor yang berlebihan (increase of imports) di dalam negeri sebagai upaya untuk melindungi, misalnya, terancamnya produksi dalam negeri.
keempat, untuk melindungi neraca pembayaran (luar negerinya) (Pasal XII).
Meskipun demikian restriksi tersebut tidak boleh diterapkan di luar yang diperlukan untuk melindungi neraca pembayarannya. Restriksi itu pun secara progesif harus dikurangi bahkan dihilangkan apabila tidak dibutuhkan kembali.
Dengan adanya pengakuan sebagaimana diatur dalam Pasal XVII, pengecualian itu telah diperluas pada negara-negara sedang berkembang. Dalam hal ini negara tersebut dapat memberlakukan restriksi kuantitatif untuk mencegah terkurasnya valuta asing (devisa) mereka yang disebabkan oleh adanya permintaan untuk impor yang diperlukan bagi pembayaran atau karena mereka sedang mendirikan atau memperluas produksi dalam negerinya.
Bagi kepentingan negara tersebut, GATT menyelenggararakan konsultasi secara reguler yang diadakan dengan negara yang mengajukan restriksi impor untuk melindungi neraca pembayarannya. Menurut Pasal XIII, restriksi kuantitatif ini, meskipun diperbolehkan, tidak boleh diterapkan secara diskriminatif.

4. Prinsip Perlindungan melalui Tarif.

Pada prinsipnya GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui tarif (menaikan tingkat tarif bea masuk) dan tidak melalui upaya-upaya perdagangan lainnya (non-tarif commercial measures).
Perlindungan melalui tarif ini menunjukan dengan jelas tingkat perlindungan yang diberikan dan masih memungkinkan adanya kompetisi yang sehat.
Sebagai kebijakan untuk mengatur masuknya barang ekspor dari luar negeri, pengenaan tarif ini masih dibolehkan dalam GATT. Negara-negara GATT umumnya banyak menggunakan cara ini untuk melindungi industri dalam negerinya dan juga untuk menarik pemasukan bagi negara yang bersangkutan.
Meskipun dibolehkan, penggunaan tarif ini tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan GATT. Misalnya saja, pengenaan atau penerapan tarif tersebut sifatnya tidak boleh diskriminatif dan tunduk pada komitmen tarifnya kepada GATT/WTO.
Komitmen tarif ini maksudnya adalah tingkat tarif dari suatu negara terhadap suatu produk tertentu. Tingkat tarif ini menjadi komitmen negara tersebut yang sifatnya mengikat. Karena itu, suatu negara yang telah menyatakan komitmennya atas suatu tarif, ia tidak dapat semena-mena menaikkan tingkat tarif yang
telah ia sepakati, kecuali diikuti dengan negoisasi mengenai pemberian mengenai kompensasi dengan mitra-mitra dagangnya (Pasal

XXVII).

Perlu dikemukakan di sini bahwa negoisasi tarif di antara negara-negara merupakan salah satu pekerjaan GATT (yang juga sekarang dilanjutkan oleh WTO). Tujuan GATT dalam hal ini adalah berupaya menurunkan tingkat tarif ke titik atau level yang serendah-rendahnya.
Ketika GATT terbentuk pada tahun 1948 sampai dengan disahkannya perjanjian hasil Putaran Uruguay, tingkat tarif yang diterapkan negara-negara telah turun cukup tajam. Dari rata-rata sebesar 38% di tahun 1948, pada tahun 1994 telah jatuh menjadi sekitar 4% saja.
Dalam putaran Uruguay, komitmen negara-negara terhadap akses pasar yang lebih besar dicapai, antara lain, melalui penurunan suku bunga yang dilakukan oleh lebih dari 120 negara. Komitmen negara-negara ini dituangkan dalam 22.500 halaman national tarif schedules.
Dalam pengurangan tarif ini, WTO mensyaratkan agar pengurangan tersebut dapat diturunkan sampai 40% (khususnya terhadap produk-produk industri di negara-negara maju) untuk jangka waktu 5 tahun (tahun 2000). Pada waktu putaran Uruguay ditutup (1994), tingkat tarif yang umumnya berlaku adalah sekitar
6,8%. Dengan tingkat tarif yang menurun demikian, diharapkan akan terjadi peningkatan penerimaan produk-produk industri maju yang memperoleh pembebasan bea masuk (yakni dari 20% menjadi 4% di negara-negara maju).
Seperti halnya tarif, GATT juga mensyaratkan negara-negara anggotanya untuk menerapkan prinsip transparansi. Prinsip ini pula yang menjadi kunci bagi prasyarat perdagangan yang pasti (predictable).
Prinsip transparansi ini mensyaratkan keterbukaan atau transparansi hukum atau perundang-undangan nasional dan praktek perdagangan suatu negara. Cukup banyak aturan dalam perjanjian



WTO memuat prinsip transparansi yang mensyaratkan negara-negara anggotanya untuk mengumumkan pada lingkup nasional dengan menerbitkan pada lembaran-lembaran resmi negara atau dengan cara memberitahukannya secara formal kepada WTO.

5. Prinsip Resiprositas.

Prinsip ini merupakan prinsip fundamental dalam GATT. Prinsip ini tampak pada preambule GATT dan berlaku dalam perundingan-perundingan tarif yang didasarkan atas dasar timbal balik dan saling menguntungkan kedua belah pihak.21 Paragraph 3
Preambul GATT menyatakan:

"Being desirous of contributing to these objectives by entering into reciprocal and mutually advantageous arrangements directed to the substantial reduction of tarifs and other varriers to trade and to the eliminations
of discriminatory treatment in international commerce."


6. Perlakuan Khusus Bagi Negara Sedang Berkembang.

Sekitar dua pertiga negara-negara anggota GATT adalah negara-negara sedang berkembang yang masih berada dalam tahap awal pembangunan ekonominya. Untuk membantu pembangunan mereka, pada tahun 1965, suatu bagian baru yaitu Part IV yang memuat tiga pasal (Pasal XXXVI-XXXVIII), ditambahkan ke dalam GATT. Tiga pasal baru dalam bagian tersebut dimaksudkan untuk mendorong negara-negara industri membantu pertumbuhan ekonomi negara-negara sedang berkembang.
Bagian IV ini mengakui kebutuhan negara sedang berkembang untuk menikmati akses pasar yang lebih menguntungkan. Bagian ini juga melarang negara-negara maju untuk membuat rintangan- rintangan baru terhadap ekspor negara-negara sedang berkembang. Negara-negara industri juga mau menerima bahwa mereka tidak akan meminta balasan dalam perundingan mengenai penurunan atau penghilangan tarif dan rintangan-rintangan lain terhadap perdagangan negara-negara sedang berkembang.
Pada waktu Putaran Tokyo 1979 berakhir, negara-negara sepakat dan mengeluarkan putusan mengenai pemberian perlakuan yang lebih menguntungkan dan partisipasi yang lebih besar bagi negara sedang berkembang dalam perdagangan dunia (‘enabling clause’). Keputusan tersebut mengakui bahwa negara sedang berkembang juga adalah pelaku yang permanen dalam sistem perdagangan dunia. Pengakuan ini juga merupakan dasar hukum bagi negara industri untuk memberikan GSP (Generalized System of Preferences atau sistem preferensi umum) kepada negara-negara sedang berkembang.



E. Garis-garis Besar Ketentuan GATT

GATT memiliki 38 pasal. Secara garis besarnya, dari pasal- pasal tersebut dibagi ke dalam 4 bagian:
Bagian Pertama mengandung dua pasal, yaitu:

a) Pasal I, berisi pasal utama yang menetapkan prinsip utama GATT, yaitu keharusan negara anggota untuk menerapkan klausul ‘most favoured nation’ treatment, kepada semua anggotanya.
b) Pasal II berisi tentang penurunan tarif yang disepakati berdasarkan penurunan tarif yang disepakati. Kesepakatan penurunan tarif dicantumkan dalam lampiran ketentuan GATT dan menjadi bagian dari GATT.
Bagian dua memuat 30 pasal, dari Pasal III sampai Pasal XXII. Pasal III berisi larangan pengenaan pajak dan upaya-upaya lainnya yang diskriminatif terhadap produk-produk impor dengan tujuan untuk melindungi produksi dalam negeri. Pengertian upaya- upaya lainnya disini adalah segala upaya, apa itu pungutan di dalam negeri atau penerbitan Undang-undang, peraturan atau persyaratan-persyaratan administratif yang mempengaruhi penjualan, penawaran pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaan produk.
Berdasarkan prinsip perlakuan nasional ini, semua produk impor yang sudah memenuhi aturan-aturan kepabeanan harus mendapat perlakuan yang sama seperti halnya produk-produk dalam negeri di negara tersebut.
Pasal IV berada di bawah judul ketentuan-ketentuan khusus mengenai film sinematografi (cinematograph film). Pasal ini membolehkan suatu negara untuk menetapkan kuota terhadap film- film melalui peraturan tentang pembatasan film. Namun demukian
pembatasan-pembatasan atau kuota ini harus tetap tunduk kepada negoisasi dengan pihak-pihak yang terpengaruh oleh adanya pembatasan-pembatasan dalam bentuk kuota ini.
Pasal V mengatur kebebasan transit. Pasal ini mengakui adanya kebebasan transit barang-barang, termasuk perahu dan sarana angkutan lainnya melalui wilayah suatu negara anggota dengan menggunakan rute-rute yang digunakan untuk transit internasional guna melakukan transit ke atau dari wilayah negara anggota GATT lainnya (ayat 2).
Dalam hal adanya transit ini, setiap negara anggota dapat mengenakan bea-bea dan menetapkan peraturan-peraturan terhadap transit ke dan dari wilayah-wilayah negara anggota lainnya. Pengenaan biaya dan pembuatan peraturan tersebut haruslah wajar dengan memperhatikan keadaan-keadaan atau kondisi dari lalu lintas transit (ayat 4).
Pasal VI mengatur anti-dumping dan bea masuk tambahan. Pasal ini berperan cukup penting dan cukup banyak digunakan oleh negara-negara maju terhadap produk-produk negara sedang berkembang. Negara maju menuduh negara sedang berkembang (tertentu) telah memasukkan barangnya ke pasar mereka dengan harga dumping. Dumping adalah praktek suatu negara yang menjual produknya di negara lain dengan harga yang lebih murah (di bawah harga normal) dengan maksud untuk merebut pasar (persaingan tidak jujur). Pasal VI ini dengan tegas memberikan batasan mengenai pengertian harga di bawah harga normal, yaitu:
a. lebih rendah dari harga untuk produk di negara di mana produk tersebut akan dikonsumsi di negara pengekspor (harga domesik); b. manakala tidak ada petunjuk mengenai harga domestik, maka harga normal adalah harga tertinggi untuk produk tersebut yang ditunjuk atau diekspor ke negara ketiga; atau c. biaya produksi untuk produk tersebut ditambah biaya tambahan (ongkos-ongkos) dan keuntungan yang layak.
Apabila suatu negara menemukan bukti-bukti positif bahwa suatu produk tertentu adalah dumping, maka negara tersebut dapat mengenakan bea masuk anti dumping dan bea masuk tambahan atas produk tersebut.
Pasal VII (valuation for custom purposes atau penilaian atas barang impor untuk maksud-maksud kepabeanan). Pasal ini menetapkan kriteria mengenai penilaian atas barang impor oleh pejabat-pejabat (bea cukai) dari negara-negara anggota GATT terhadap barang impor.
Pasal ini mensyaratkan bahwa nilai barang-barang impor untuk maksud kepabeanan harus didasarkan pada nilai nyata barang (actual value of the imported merchandise), bukan pada nilai asal barang atau pada nilai yang tanpa dasar atau dibuat-buat (arbitrary or fictitious values).
Pasal VIII berada di bawah judul fees and formalities (biaya-biaya dan formalitas-formalitas). Pasal ini mensyaratkan agar semua biaya dan pungutan (selain daripada bea masuk impor dan ekspor serta pajak yang diatur dalam pasal III) yang dikenakan atas atau dalam hubungannya dengan impor atau ekspor harus dibatasi.
Pasal ini menegaskan bahwa pungutan-pungutan seperti itu tidak boleh dijadikan sebagai proteksi tidak langsung terhadap produk-produk domestik atau merupakan suatu pemajakan terhadap impor atau ekspor untuk maksud fiskal (Pasal VIII ayat 1 (a). Ayat 1 (b) pasal ini mensyaratkan negara-negara anggota untuk mengurangi jumlah-jumlah biaya dan pungutan seperti itu.
Pasal VIII ayat 1 (c) mensyaratkan negara-negara anggota untuk: 1) menyederhanakan pengaturan dan rumitnya formalitas- formalitas impor dan ekspor; 2) mengurangi dan menyederhanakan persyaratan-persyaratan dokumentasi impor dan ekspor.
Ketentuan-ketentuan pasal ini berlaku pula terhadap biaya- biaya, pungutan, formalitas dan persyaratan-persyaratan yang dikenakan oleh pejabat-pejabat pemerintah berkaitan dengan impor dan ekspor, termasuk:
a) transaksi-transaksi konsuler, seperti faktur-faktur dan sertifikat konsuler; b) pembatasan kuantitatif; c) lisensi; d) pengawasan devisa (exchange control); e) jasa-jasa statistik; f) dokumen, dokumentasi dan sertifikasi; g) analisis dan inspeksi; h) karantina atau sanitasi.
Pasal IX mengatur tanda asal (marks of origin). Pada prinsipnya pasal ini mensyaratkan agar semua negara anggota harus memberikan perlakuan yang sama (no lees favourable treatment) berkaitan dengan persyaratan asal barang ini terhadap semua produk dari negara-negara anggota seperti halnya perlakuan terhadap produk serupa dari negara ketiga (ayat 1).
Ayat 6 pasal IX ini mensyaratkan agar negara-negara anggota harus bekerja sama dalam mencegah penggunaan nama dagang yang tidak menggambarkan asal barang suatu produk, dengan merugikan nama-nama regional atau geografis dari produk suatu negara anggota yang dilindungi oleh hukum.
Pasal X mengatur persyaratan publikasi dan administrasi pengaturan-pengaturan perdagangan. Pasal ini menegaskan bahwa Undang-undang, peraturan-peraturan, putusan-putusan pengadilan dan administratif mengenai klasifikasi atau penilaian produk untuk tujuan kepabeanan, pajak, pungutan, atau segala persyaratan yang mempengaruhi penjualan, distribusi, transportasi, asuransi, inspeksi, pemrosesan, penggunaan, dll., harus dipublikasikan secara wajar sehingga para negara anggota dan para pedagang mengetahuinya.
Pasal XI sampai XV mengatur restriksi atau pembatasan kuantitatif. Restriksi kuantitatif yang sering dipraktekkan adalah pengenaan kuota, lisensi impor atau ekspor atau upaya lainnya disamping bea masuk, pajak atau pungutan lainnya.
Pasal XI menegaskan bahwa praktek seperti ini dilarang. Pasal XII membolehkan suatu negara untuk menerapkan pembatasan-pembatasan masuknya produk impor demi untuk mengamankan neraca pembayarannya (restriction to safeguard the balance of payment).
Pasal XIII mensyaratkan bahwa penerapan restriksi kuantitatif tersebut harus dilaksanakan tanpa diskriminasi. Jadi, misalnya suatu negara membatasi masuknya suatu produk dari suatu negara, misalnya dari B, maka pembatasan tersebut harus juga diberlakukan terhadap negara ketiga, misalnya C.
Pasal XIV mengatur pengecualian-pengecualian penerapan restriksi kuantitatif dalam hal pembatasan masuknya produk-produk impor karena alasan-alasan moneter tertentu.
Pasal XV mengatur pengaturan mengenai pembayaran. Pasal ini mensyaratkan perlunya kerjasama antara GATT dengan IMF.
Pasal XVI mengatur subsidi. Pasal ini mengakui adanya praktek negara-negara yang masih memberikan subsidi terhadap produk-produk dalam negerinya dengan maksud agar dapat bersaing di pasar internasional. Namun pasal ini mewajibkan negara tersebut untuk memberitahu GATT tentang adanya subsidi ini.
Dalam perkembangan pengaturan GATT sebagaimana kemudian tercantum dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal XVI ini, GATT mensyaratkan negara-negara anggotanya untuk menghapus subsidi ini.
Pasal XVII mengatur perusahaan dagang negara (state trading enterprises). GATT menyadari bahwa perusahaan dagang negara dapat menimbulkan praktek-praktek perdagangan yang tidak ‘fair’. Oleh karena itu, pasal ini dengan tegas menyatakan bahwa perusahaan- perusahaan seperti ini harus bertindak sesuai dengan prinsip- prinsip umum mengenai perlakuan non-diskriminatif dalam kaitannya dengan upaya-upaya pemerintah yang mempengaruhi impor dan ekspor oleh para pedagang.
Pasal XVIII berada di bawah judul ‘governmental assistance

to economic development’ (bantuan pemerintah kepada pembangunan ekonomi). Pasal ini mengakui bahwa negara-negara sedang berkembang membutuhkan tarif yang fleksibel dan dapat menerapkan beberapa restriksi kuantitatif untuk mempertahankan alat tukar luar negerinya untuk kebutuhan pembangunannya.
Pasal XIX mengatur tindakan darurat atas impor produk- produk tertentu. Pasal ini memberi hak atau pembenaran bagi suatu negara untuk menangguhkan sebagian atau seluruh kewajibannya berdasarkan GATT atau menarik atau memodifikasi sebagian atau seluruh konsesinya. Pasal baru ini dapat diterapkan apabila suatu produk impor masuk ke dalam suatu negara yang kehadiran jumlah produk tersebut telah mengakibatkan atau mengancam akan memukul secara serius produsen dalam negerinya. Ayat 2 pasal ini mensyaratkan negara yang hendak menerapkan pasal ini untuk terlebih dahulu memberitahu dan mengkonsultasikannya dengan GATT.
Pasal XX mengatur pengecualian umum (general exeptions), yakni pengecualian-pengecualian yang dimungkinkan untuk menanggalkan aturan-aturan atau kewajiban-kewajiban suatu negara terhadap GATT, khususnya dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan
yang diperlukan untuk:

(a) m elindungi moral masyarakat;

(b)
melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, tanaman;
hewan
atau

(c)
impor atau ekspor emas atau perak;

(d) perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual;
(e) produk-produk yang berasal dari hasil kerja para narapidana; (f) perlindungan kekayaan nasional, kesenian, sejarah atau

purbakala;

(g) konservasi kekayaan alam yang dapat habis;

(h) dalam kaitannya dengan adanya kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian-perjanjian komoditi antar pemerintah; dll.

Pasal XXI GATT membenarkan suatu negara untuk menanggalkan kewajibannya berdasar GATT dengan alasan keamanan (security exeption).
Pasal XXII dan XXIII mengatur penyelesaian sengketa di dalam GATT.
Bagian ketiga berisi 11 pasal. Pasal XXIV mengatur bagaimana customs union and free trade area dapat memanfaatkan pengecualian-pengecualian terhadap prinsip most-favored-nation. Pasal XXV menetapkan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para pemerintah dari negara-negara anggota GATT. Pasal ini mengakui pula diperbolehkannya beberapa pengecualian (waiver) terhadap aturan GATT.
Pasal XXVI sampai XXXV adalah pasal-pasal berisi tentang pemberlakuan GATT, berupa penerimaan dan berlakunya ketentuan GATT (Pasal XXVI); status (kondisi) tarif dari negara bukan anggota (Pasal XXVII); ketentuan untuk perundingan tarif dan perubahan-perubahan dalam daftar tarif (Pasal XXVIII), hubungan antara GATT dengan Piagam Havana (Pasal XXIX), perubahan terhadap GATT (Pasal XXX), penarikan atau pengunduran diri anggota dari GATT (Pasal XXXI), batasan contracting parties (keanggotaan GATT) (Pasal XXXII), masuknya menjadi anggota GATT (Pasal XXXIV), dan tidak diterapkannya beberapa aturan GATT di antara anggota- anggota GATT tertentu (Pasal XXXV).
Bagian keempat terdiri dari 3 pasal (Pasal XXXVI-XXXVIII) yang ditambahkan pada tahun 1965. pasal XXXVI menyadari adanya kebutuhan-kebutuhan khusus negara-negara sedang Berkembang di bidang perdagangan internasional. Pasal XXXVII mengatur komitmen negara-negara (maju), kecuali ada alasan-alasan mendesak untuk tidak melaksanakan pasal ini, untuk memberikan bantuan ekonomi dan perdagangan kepada negara sedang berkembang. Pasal XXXVIII mengatur tindakan bersama oleh para anggota untuk membantu perdagangan negara sedang berkembang.



F. Penutup

Uraian di atas menyiratkan beberapa catatan berikut.
GATT sebagai aturan perdagangan yang dibuat pada tahun 1947 ternyata masih relevan bahkan masih terus relevan untuk masa yang

akan datang. Aturan dan prinsip yang diaturnya memuat aturan- aturan yang dapat diterima oleh hampir banyak negara (meskipun dari keanggotaannya masing-masing negara memiliki sistem hukum yang berbeda). Khususnya prinsip non-diskriminasi merupakan prinsip yang memang dapat diterima universal.
Sebenarnya masalah utama dari adanya aturan GATT ini adalah bagaimana dapat memanfaatkannya, khususnya bagi negara sedang berkembang. Dari preambul GATT tersirat tujuan pentingnya, yaitu meningkatkan taraf hidup umat manusia; meningkatkan kesempatan kerja; meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia; dan meningkatkan produksi dan tukar menukar barang.
Aturan-aturan GATT tampaknya telah memberi aturan yang seimbang, antara hak dan kewajiban bagi negara-negara para pesertanya. Bagi negara sedang berkembang, meskipun aturannya tidak jelas dan tidak memberi ‘muatan’ yang jelas, tetapi yang penting aturan khusus untuk negara sedang berkembang sudah ada.
Tujuan penting itu menyiratkan satu hal penting. Tujuan tersebut hanya akan dapat terealisasi apabila negara (berkembang) yang bersangkutan memahami aturan-aturan GATT. Pemahaman yang baik akan memungkinkan negara tersebut untuk dapat memanfaatkan aturan-aturan GATT bagi kepentingan perdagangannya.
Sebaliknya kekurang-pahaman aturan-aturan GATT akan mengakibatkan sulitnya pemanfaatan aturan-aturan tersebut bagi kepentingan perdagangan negara yang bersangkutan. Artinya,
tujuan-tujuan yang baik di atas, tidak akan tercapai.





Daftar Pustaka

Departemen Perdagangan RI, GATT dan Uruguay Round, Seri Informasi
Perdagangan Internasional no. 14, 1993/1994.
Jackson, John H. Jackson, et.al., The Legal Problems of International
Economic Relations,.St Paul Minn.: West, 1995.
Jaenicke, Gunther, “General Agreement om Tariffs and Trade (1946), dalam Bernhard (ed)., Encyclopedia of Public International Law, Instalment 5 (1983).
Long, Olivier, Law and Its Limitations in the GATT Multilateral Trade
System, Martinus Nijhoff Publishers, 1987.
Meerghaeghe, M.A.G. Van, International Economic institutions, The
Netherlands: Kluwer, 1987.
WTO, The Roots of the WTO, No. Publ., 1996.

0 Responses to “ATURAN-ATURAN HUKUM PERDAGANGAN MENURUT GATT”

Posting Komentar

All Rights Reserved RoniQueeNet | Blogger Template by Bloggermint