Selasa, 08 Mei 2012
PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Do you like this story?
A. Pengantar
Transaksi-tansaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya. Dari berupa hubungan jual beli barang, pengiriman dan penerimaan barang, produksi barang dan jasa berdasarkan suatu kontrak, dll. Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan sengketa.
Umumnya sengketa-sengketa dagang kerap didahului oleh penyelesaian oleh negosiasi. Manakala cara penyelesaian ini gagal atau tidak berhasil, barulah ditempuh cara-cara lainnya seperti penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase.
Penyerahan  sengketa  baik  kepada  pengadilan  maupun  ke
arbitrase kerap kali didasarkan pada suatu perjanjian di antara para pihak. Langkah yang biasa ditempuh adalah dengan membuat suatu  perjanjian  atau  memasukkan  suatu  klausul  penyelesaian sengketa ke dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat, baik ke pengadilan atau ke badan arbitrase.
Yang menjadi dasar hukum bagi forum atau badan penyelesaian
sengketa yang akan menangani sengketa adalah kesepakatan para pihak. Kesepakatan inilah hukum. Kesepakatan tersebut diletakkan baik pada waktu  kontrak ditandatangani atau setelah sengketa timbul.
Biasanya pula kelalaian para pihak untuk menentukan forum ini akan  berakibat pada kesulitan dalam  penyelesaian  sengketanya. Karena,  dengan adanya kekosongan pilihan  forum tersebut  akan menjadi  alasan yang kuat bagi setiap  forum  untuk  menyatakan
dirinya berwewenang untuk memeriksa suatu sengketa.
Lazimnya dalam sistem hukum (Common Law) dikenal dengan konsep 'long arm' jurisdiction. Dengan konsep ini, pengadilan dapat menyatakan kewenangannya untuk menerima setiap sengketa yang dibawa ke hadapannya meskipun hubungan antara pengadilan dengan sengketa tersebut tipis sekali.  Misalnya, badan peradilan di Amerika Serikat dan Inggris kerapkali selalu menerima sengketa yang  para pihak serahkan kehadapannya  meskipun  hubungan  atau keterkaitan sengketa dengan badan peradilan sangatlah kecil. Misalnya, pihak termohon memiliki usaha di Amerika Serikat atau dalam kontrak tersebut secara tegas atau diam-diam mengacu kepada salah satu negara bagian Amerika Serikat atau hukum Inggris.
Di samping forum pengadilan atau badan arbitrase, para pihak
dapat pula menyerahkan sengketanya kepada cara alternatif penyelesaian sengketa, yang lazim dikenal sebagai ADR (alternative dispute resolution) atau APS (alternatif penyelesaian sengketa).
Pengaturan alternatif di sini dapat berupa cara altrnatif di samping  pengadilan. Bisa juga berarti  alternatif  penyelesaian secara umum, yaitu berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang para pihak dapat gunakan, termasuk alternatif penyelesaian melalui pengadilan.
Biasanya  pula  dalam  klausul  tersebut  dimasukkan  atau
dinyatakan pula hukum yang akan diterapkan oleh badan penyelesaian sengketa.
B. Para Pihak dalam Sengketa
Bab 3 memuat beberapa stake-holders atau subyek hukum dalam hukum perdagangan internasional, yaitu negara, perusahaan atau individu, dll. Dalam uraian berikut, para pihak yang menjadi pembahasan  dibatasi  pada  pihak  pedagang  (badan  hukum  atau individu) dan negara. Karena sifat dari hukum perdagangan internasional adalah lintas batas, pembahasan pun dibatasi hanya antara 1. pedagang dan pedagang; dan 2. Pedagang dan negara asing.
Ad. 1. Sengketa antara pedagang dan pedagang.
Sengketa antara dua pedagang adalah sengketa yang sering dan paling banyak terjadi. Sengketa seperti ini terjadi hampir setiap hari.  Sengketanya  diselesaikan  melalui  berbagai  cara.  Cara tersebut semuanya bergantung pada kebebasan dan kesepakatan para pihak.
Kesepakatan  dan  kebebasan  akan  pula  menentukan  forum
pengadilan apa yang akan menyelesaian sengketa mereka. Kesepakatan dan kebebasan pula yang akan menentukan hukum apa yang akan diberlakukan dan diterapkan oleh badan pengadilan yang mengadili sengketanya.
Kesepakatan dan kebebasan para pihak adalah esensil. Hukum menghormati  kesepakatan  dan  kebebasan  tersebut.  Sudah  barang tentu,  kesepakatan dan kebebasan tersebut  ada  batas-batasnya. Biasanya batas-batas tersebut adalah tidak melanggar UU dan ketertiban umum.
Ad.2. Sengketa antara pedagang dan negara asing
Sengketa antara pedagang dan negara juga bukan merupakan kekecualian. Kontrak-kontrak dagang antara pedagang dan negara sudah lazim ditandatangani. Kontrak-kontrak seperti ini biasanya dalam jumlah (nilai) yang relatif besar. Termasuk di dalamnya adalah kontrak-kontrak pembangunan (development contracts). Misalnya, kontrak di bidang pertambangan.
yang menjadi masalah adalah adanya konsep imunitas negara yang diakui hukum internasional. Dengan adanya konsep iimunitas inilah yang sedikit banyak berpengaruh terhadap keputusan pedagang untuk menentukan penyelesain sengketanya. Masalah utamnya adalah dengan adanya konsep imunitas ini, suatu negara dalam situasi apapun, tidak akan pernah dapat diadili di hadapan badan-badan peradilan asing.
Namun demikian hukum internasional ternyata fleksibel. Hukum internasional tidak semata-mata mengakui atribut negara sebagai subyek hukum internasional yang sempurna (par excellence). Hukum internasional menghormati pula individu (pedagang) sebagai subyek hukum internasional terbatas.
Karena itu dalam hukum internasional berkembang pengertian jure imperii dan jure gestiones. Yang pertama adalah tindakan- tindakan negara di bidang publik dalam kapasitasnya sebagai suatu negara yang berdaulat. Karena itu tindakan-tindakan seperti itu tidak akan pernah dapat diuji atau diadili di hadapan badan peradilan.
Konsep kedua, jure gesiones, yaitu tindakan-tindaka negara di
bidang  keperdataan atau dagang. Karena  itu,  tindakan-tindakan seperti  itu tidak  lain adalah tindakan-tindakan  negara  dalam kapasitasnya seperti orang-perorangan (pedagang atau privat). Sehingga tindakan-tindakan seperti itu  dapat  dianggap  sebagai tindakan-tindakan sebagaimana layaknya para pedagang biasa. Karena itu tindakan-tindakan seperti itu yang kemudian menimbulkan sengketa, dapat saja diselesaikan di hadapan badan-badan peradilan umum, arbitrase, dll.
Sebaliknya negara-negara yang mengajukan bantahannya bahwa
suatu badan peradilan tidak memiliki jurisdiksi untuk mengadili neggara sebagai pihak dalam sengketa bisnis, biasanya ditolak. Badan peradilan umumnya menganut adanya konsep jure gestiones ini.
C. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa
Dalam hukum perdagangan internasional, dapat dikemukakan di sini prinsip-prinsip mengenai penyelesaian sengketa perdagangan internasional.
1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)
Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam  penyelesaian  sengketa perdagangan  internasional.  Prinsip inilah yang menjadi dasar untuk dilaksanakan atau tidaknya suatu proses penyelesaian sengketa.
Prinsip ini pula dapat menjadi dasar apakah suatu proses penyelesaian  sengketa  yang  sudah  berlangsung  diakhiri.  Jadi prinsip ini sangat esensial. Badan-badan peradilan (termasuk arbitrase) harus menghormati apa yang para pihak sepakati.
Termasuk dalam lingkup pengertian kesepaktan ini adalah:
(1)  bahwa salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak berupaya menipu, menekan atau menyesatkan pihak lainnya;
(2)  bahwa  perubahan  atas  kesepakatan  harus  berasal  dari kesepakatan kedua belah pihak. Artinya, pengakhiran kesepakatan atau revisi terhadap muatan kesepakatan harus pula berdasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak.
2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa
Prinsip penting kedua adalah prinsip dimana para pihak memiliki kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan (principle of free choice of means).
Prinsip ini termuat antara lain dalam Pasal 7 The UNCITRAL Model  Law on International Commercial  Arbitration.  Pasal  ini memuat definisi mengenai perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan sengketa ke suatu badan arbitrase. Menurut pasal ini penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau perjanjian para pihak. Artinya, penyerahan suatu sengketa ke badan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk memilihnya.
3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum
Prinsip penting lainnya adalah prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan (bila sengketanya  diselesaikan)  oleh  badan  peradilan  (arbitrase) terhadap pokok sengketa. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono).
Yang terakhir ini adalah sumber di mana pengadilan akan memutus sengketa berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kepatutan atau  kelayakan  suatu  penyelesaian  sengketa.  Contoh  kebebasan memilih ini yang harus dihormati oleh badan peradilan adalah pasal
28  ayat  (1)  UNCITRAL  Model  Law  on  International  Commercial
Arbitration:
“The arbitral tribunal shall decide the dispute in accordance with such rules of law as are chosen by the parties as applicable to the substance of the dispute. Any designation of the law or legal system of a given State shall be construed, unless otherwise expressed, as directly referring to the substantive law of that State and not to its conflict of laws rules.”
4. Prinsip Itikad Baik (Good Faith)
Prinsi  itikad  baik  dapat  dikatakan  sebagai  prinsip fundamental  dan  paling  sentral  dalam  penyelesaian  sengketa. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan sengketanya.
Dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini tercemin dalam dua tahap. Pertama, prinsip itikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa yang dapat mempengaruhi hubungan-hubungan baik di antara negara.
Kedua, prinsip ini disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum (perdagangan) internasional, yakni negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau cara- cara pilihan para pihak lainnya.
5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies
Prinsip Exhaustion of Local Remedies sebenarnya semula lahir dari prinsip hukum kebiasaan internasional. Dalam upayanya merumuskan pengaturan mengenai prinsip ini, Komisi Hukum Internasional PBB (International Law Commission) memuat aturan khusus mengenai prinsip ini dalam pasal 22 mengenai ILC Draft Articles on State Responsibility. Pasal 22 ini menyatakan sebagai berikut:
“When the conduct of a State has created a situation not in
conformity with  the  result  of  it by  an  international
obligation concerning  the  treatment too  be  accorded  to
aliens, whether natural or juridical persons, but the obligation allows that this or an equivalent result may nevertheless be achieved by subsequent conduct of the State, there is a breach of the obligation only if the aliens concerned have exhausted the effective local remedies available to them without obtaining the treatment called for by the obligation or, where that is not possible, an equivalent treatment.”
Menurut prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional, maka langkah-langkah penyelesaian  sengketa  yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional suatu negara harus terlebih  dahulu  ditempuh  (exhausted).  Dalam  sengketa  the Interhandel Case (1959), Mahkamah Internasional menegaskan:
"Before resort may be had to an international court... the state where the violation occured should have an opportunity to redress it by its own means, within the framework of its own domestic legal system."
D. Forum Penyelesaian Sengketa
Forum penyelesaian sengketa dalam hukum perdagangan internasional pada prinsipnya juga sama dengan forum yang dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa (internasional) pada umumnya. Forum  tersebut  adalah  negosiasi,   penyelidikan   fakta-fakta (inquiry), mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian melalui hukum  atau  melalui  pengadilan,  atau  cara-cara  penyelesaian sengketa lainnya yang dipilih dan disepakati para pihak.
Cara-cara sengketa di atas telah dikenal dalam berbagai
negara dan sistem hukum di dunia. Cara-cara tersebut dipandang sebagai bagian integral dari penyelesaian sengketa yang diakui dalam sistem hukumnya. Misalnya, hukum nasional Ri yang dapat ditemukan dalam pasal 6 UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan  Alternatif  Penyelesaian  Sengketa.  Negara  lainnya  adalah Amerika Serikat, Inggris dan Australia.
Berikut adalah uraian singkat mengenai forum-forum tersebut.
Tidak semua forum dibahas, tetapi akan dibatasi pada negosiasi, mediasi, konsiliasi, pengadilan dan arbitrase. Sedangkan penyelidikan fakta (inquiry) atau cara-cara lainnya yang para pihak sepakati tidak termasuk dalam bahasan.
1. Negosiasi
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua digunakan. Penyelesaian melalui negosiasi
merupakan cara yang paling penting. Banyak sengketa diselesaikan setiap  hari oleh negosiasi ini tanpa  adanya  publisitas  atau menarik perhatian publik.
Alasan utamanya adalah karena dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya. Setiap penyelesaiannya pun didasarkan pada kesepakatan atau konsensus para pihak.  Senada dengan itu Kohona mengatakan bahwa negosiasi adalah "an efficacious means of settling disputes relating to an agreement, because they enable parties to arrive at conclusions having regard to the wishes of all the disputants." 
Kelemahan utama dalam penggunaan cara ini dalam menyelesaikan sengketa adalah: pertama, manakala para pihak berkedudukan tidak seimbang. Salah satu pihak kuat, yang lain lemah. Dalam keadaan ini, salah satu pihak kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya. Hal ini acapkali terjadi manakala dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketanya di antara mereka.
Kelemahan kedua adalah bahwa proses berlangsungnya negosiasi acapkali lambat dan bisa memakan waktu lama. Ini terutama karena sulitnya  permasalahan-prmasalahan  yang  timbul  di  antara  para pihak. Selain itu jarang sekali adanya persyaratan penatapan batas waktu  bagi para pihak untuk menyelesaian  sengketanya  melalui
negosiasi ini.
Kelemahan ketiga, adalah manakala suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya. Keadaan ini dapat mengakibatkan proses negosiasi ini menjadi tidak produktif.
Mengenai pelaksanaan negosiasi, prosedur-prosedur yang terdapat di dalamnya perlu dibedakan sebagai berikut: pertama, negosiasi digunakan manakala suatu sengketa belum lahir (disebut pula sebagai konsultasi); dan kedua, negosiasi digunakan manakala suatu sengketa telah lahir, maka prosedur negosiasi ini merupakan proses  penyelesaian  sengketa  oleh  para  pihak  (dalam  arti
negosiasi).
2. Mediasi
Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Ia bisa individu (pengusaha) atau lembaga atau organisasi profesi atau dagang. Mediator ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi. Biasanya ia dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral  berupa mendamaikan para pihak  dengan  memberikan  saran penyelesaian sengketa.
Usulah-usulan penyelesaian melalui mediasi dibuat agak tidak resmi  (informal).  Usulan  ini  dibuat  berdasarkan  informasi- informasi yang diberikan oleh para pihak. Bukan atas penyelidikannya.
Jika usulan tersebut tidak diterima, mediator masih dapat tetap melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru. Karena itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai  solusi  (penyelesaian),  mengidentifikasi  hal-hal  yang dapat disepakati para pihak serta membuat usulah-usulan yang dapat mengakhiri sengketa.
Seperti halnya dalam negosiasi, tidak ada prosedur-prosedur khusus yang harus ditempuh dalam proses mediasi. Para pihak bebas menentukan prosedurnya. Yang penting adalah kesepakatan para pihak mulai dari proses (pemilihan) cara mediasi, menerima atau tidaknya usulah-usulan yang diberikan oleh mediator, sampai kepada pengakhiran tugas mediator.
Gerald Cooke menggambarkan kelebihan mediasi ini sebagai
berikut:
“Where mediation is successfully used, it generally provides a quick, cheap and effective result. It is clearly appropriate, therefore, to consider providing for mediation or other alternative dispute resolution techniques in the contractual dispute resolution clause.” (Huruf tebal oleh penulis).
Cooke juga dengan benar mengingatkan bahwa penyelesaian melalui mediasi ini tidaklah mengikat. Artinya, para pihak meski telah sepakat untuk menyelesaikan senketanya melalui mendiasi, namun mereka tidak wajib atau harus menyelesaikan sengketanya melalui mediasi.
Manakala para pihak gagal menyelesaikan sengketanya melalui mediasi, mereka masih dapat menyerahkan ke forum yang mengikat
yaitu penyelesaian melalui hukum, yaitu pengadilan atau arbitrase.
3. Konsiliasi
Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketanya secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit untuk dibedakan. Istilahnya acapkali digunakan dengan bergantian.27  Namun menurut Behrens, ada perbedaan antara kedua istilah ini: konsiliasi lebih formal daripada mediasi.
Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seroang individu atau suatu badan yang disebut dengan badan atau komisi konsiliasi. Komisi  konsiliasi  bisa  yang  sudah  terlembaga  atau  ad  hoc (sementara)   yang   berfungsi   untuk   menetapkan  persyaratan- persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun putusannya tidaklah mengikat para pihak.
Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap: tahap tertulis dan tahap lisan. Pertama, sengketa (yang diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran tersebut, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya.
Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya, konsiliator atau badan konsiliasi akan menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan-usulan penyelesaian sengketanya. Sekali lagi, usulan ini sifatnya tidaklah mengikat. Karenanya diterima tidaknya usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada para pihak.
Contoh komisi konsiliasi yang terlembaga adalah badan yang
dibentuk oleh Bank Dunia untuk menyelesaikan sengketa-sengketa penanaman modal asing, yaitu the ICSID Rules of Procedure for Conciliaiton Proceedings (Conciliaiton Rules).31 Namun dalam prakteknya, penggunaan cara ini kurang populer.
Sejak berdiri (1966), badan konsiliasi ICSID hanya menerima dua kasus. Kasus pertama diterima pada 5 Oktober 1982. (Jadi selama 16 tahun kosong). Namun sebelum badan konsiliasi terbentuk, para pihak sepakat mengakhiri persengketaannya.
Kasus kedua yaitu Tesoro Petroleum Corp. v. Government of Trinidad and Tobago diterima tahun 1983.  Kasus ini berhasil diselesaikan pada tahun 1985 setelah para pihak sepakat untuk
menerima usulan-usulan yang diberikan oleh konsiliator.
4. Arbitrase.
a. Mengapa Arbitrase Dipilih?
Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak  ketiga  yang  netral.  Pihak  ketiga  ini  bisa  individu, arbitrase terlembaga atau arbitrase sementara (ad hoc). Badan arbitrase dewasa ini sudah semakin populer. Dewasa ini arbitrase semakin  banyak digunakan dalam menyelesaikan  sengketa-sengketa dagang nasional maupun internasional.
Adapun alasan utama mengapa badan arbitrase ini semakin banyak dimanfaatkan adalah sebagai berikut:
(1) kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang pertama dan terpenting adalah penyelesaiannya yang relatif lebih cepat daripada proses berperkara melalui pengadilan. Dalam arbitrase tidak dikenal upaya banding, kasasi atau peninjauan kembali seperti yang kita kenal dalam sistem peradilan kita. Putusan arbitrase sifatnya final dan mengikat. Kecepatan penyelesaian ini sangat dibutuhkan oleh dunia usaha.
(2) Keuntungan lainnya dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini adalah sifat kerahasiaannya. Baik kerahasiaan mengenai persidangannya maupun kerahasiaan putusan arbitrasenya.
(3) Dalam  penyelesaian  melalui  arbitrase,  para  pihak  memiliki kebebasan  untuk  memilih  ‘hakimnya’  (arbiter)  yang  menurut mereka netral dan akhli atau spesialis mengenai pokok sengketa yang mereka hadapi. Pemilihan arbiter sepenuhnya berada pada kesepakatan para pihak. Biasanya arbiter yang dipilih adalah mereka yang tidak saja ahli tetapi juga ia tidak selalu harus
ahli hukum. Bisa saja ia menguasai bidang-bidang lainnya. Ia bisa insinyur, pimpinan perusahaan (manajer), ahli asuransi, ahli perbankan, dll.
(4) Keuntungan   lainnya   dari   badan   arbitrase   ini   adalah dimungkinkannya para arbiter untuk menerapkan sengketanya berdasarkan kelayakan dan kepatutan (apabila memang para pihak menghendakinya).
(5) Dalam hal arbitrase internasional, putusan arbitrasenya relatif lebih dapat dilaksanakan di negara lain dibandingkan apabila sengketa tersebut diselesaikan melalui misalnya pengadilan. Hal ini dapat terwujud antara lain karena dalam lingkup arbitrase internasional ada perjanjian khusus mengenai hal ini, yaitu Konvensi New York 1958 mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
b. Perjanjian Arbitrase
Dalam praktik, biasanya penyerahan sengketa ke suatu badan peradilan tertentu, termasuk arbitrase,  termuat  dalam  klausul penyelesaian sengketa dalam suatu kontrak. Biasanya judul klausul tersebut ditulis secara langsung dengan ‘Arbitrase’. Kadang-kadang istilah lain yang digunakan adalah ‘choice of forum’ atau ‘choice of jurisdiction’.
Kedua istilah tersebut mengandung pengertian yang agak berbeda. Istilah choice of forum berarti  pilihan  cara  untuk menadili sengketa, dalam hal ini pengadilan atau badan arbitrase.
Istilah  choice of  jurisdiction berarti  pilihan  tempat  dimana pengadilan memiliki kewenangan untuk menangani sengketa. Tempat yang dimaksud misalnya Inggris, Belanda, Indonesia, dll.
Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir. Alternatif lainnya, atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause).
Baik  submission  clause  atau  arbitration  clause  harus tertulis. Syarat ini sangat esensial. Sistem hukum nasional dan internasional mensyaratkan ini sebagai suatu syarat utama untuk arbitrase. Dalam hukum nasional kita, syarat ini tertuang dalam pasal 1 (3) UU Nomor 3 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian  Sengketa.  Dalam  instrumen  hukum  internasional, termuat dalam Pasal 7 ayat (2) UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration 1985, atau pasal II Konvensi New York 1958.
Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa klausul arbitrase melahirkan jurisdiksi arbitrase. Artinya, klausul tersebut memberi kewenangan kepada arbitrator untuk menyelesaikan sengketa. Apabila pengadilan  menerima  suatu  sengketa  yang  di  dalam  kontraknya terdapat klausul arbitrase, maka pengadilan harus menolak untuk menangani sengketa.
c. Lembaga-lembaga Arbitrase
Peran arbitrase difasilitasi oleh adanya lembaga-lembaga arbitrase internasional terkemuka. Badan-badan tersebut misalnya adalah the London Court of International Arbitration (LCIA), the Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC) dan the Arbitration Institute of the Stockholm Chamber of Commerce (SCC).
Di samping kelembagaan, pengaturan arbitrase sekarang ini
ditunjang pula oleh adanya sutau aturan berabitrase yang menjadi acuan  bagi  banyak  negara  di  dunia,  yaitu  Model  Law  on International Commercial Arbitration yang dibuat oleh the United
Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL).
5. Pengadilan (Nasional dan Internasional)
Metode yang memungkinkan untuk menyelesaikan sengketa selain cara-cara tersebut di atas adalah melalui pengadilan nasional atau internasional. Penggunaan cara ini biasanya ditempuh apabila cara- cara penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil.
Penyelesaian sengketa dagang melalui badan peradilan biasanya hanya dimungkinkan manakala para pihak sepakat. Kesepakatan ini tertuang dalam klausul penyelesaian sengketa dalam kontrak dagang para  pihak. Dalam  klausul tersebut  biasanya  ditegaskan  bahwa manakala timbul sengketa dari hubungan dagang mereka, maka mereka sepakat  untuk menyerahkan sengketanya  kepada  suatu  pengadilan (negeri) suatu negara tertentu.
Kemungkinan kedua, para pihak dapat menyerahkan sengketanya kepada badan pengadilan internasional. Salah satu badan peradilan yang menangani sengketa dagang ini misalnya saja adalah WTO. Namun perlu ditekankan di sini, WTO hanya menangani sengketa antar negara anggota WTO. Umumnya pun sengketanya lahir karena adanya suatu pihak (pengusaha atau negara) yang dirugikan karena adanya kebijakan perdagangan negara lain anggota WTO yang merugikannya.
Alternatif badan peradilan lain adalah Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Namun penyerahan sengketa ke Mahkamah Internasional, menurut hasil pengamatan beberapa sarjana, kurang begitu diminati oleh negara-negara.
Sebagai ilustrasi adalah peranan Mahkamah Internasional (the
International  Court  of  Justice).   Peranan   Mahkamah   dalam menyelesaikan sengketa-sengketa ekonomi  (termasuk perdagangan), menurut Mann, sangatlah 'suram'.  Selama berdiri (sejak 1945)
sampai tulisan ini dibuat, Mahkamah Internasional hanya mengadili
2 kasus di bidang ekonomi internasional, yakni the ELSI Case antara Amerika Serikat melawan Italia, dan the Barcelona Traction Case antara Belgia melawan Spanyol.
Sengketa The Barcelona Traction adalah sengketa terkenal. Dalam sengketa ini sebuah perusahaan Kanada, Barcelona Traction, Light and Power, Co., didirikan pada tahun 1911. Perusahaan ini mengoperasilan  pembangunan  dan  pengadaan  tenaga  listrik  di Spanyol.
Pada tahun 1968, pengadilan Spanyol memutuskan perusahaan tersebut pailit. Keputusan ini ditindak-lanjuti oleh serangkaian tindakan dalam rangka kepailitan tersebut. Pemerintah Kanada kemudian turut campur dalam sengketa ini dalam upayanya melindungi kepentingan warga negaranya. Masalahnya menjadi rumit karena ternyata  pemegang  saham  mayoritas  dalam  perusahaan  tersebut dimiliki warga negara Belgia, yaitu sebesar 88 %. Pemerintah Belgia dalam upaya melindungi warga negaranya yang dirugikan oleh tindakan pemerintah Spanyol itu membawa sengketanya ke Mahkamah Internasional. Spanyol menolak gugatan pemerintah Belgia dengan dalil bahwa Belgia tidak memiliki dasar hukum yang sah (locus standi) untuk membawa kasus ini. Dalam putusannya, Mahkamah Internasional setuju dengan Spanyol.
Alasan F.A. Mann menyatakan 'hasil kerja' Mahkamah Internasional  ini  'suram',  pada  dasarnya  karena  dua  alasan. Pertama, kurang adanya penghargaan terhadap fakta-fakta spesifik
mengenai  duduk  perkaranya.  Kedua,  kurangnya  keahlian  atau kemampuan Mahkamah pada permasalahan-permasalahan bidang (hukum)
ekonomi atau perdagangan internasional.
Selain itu, pengadilan-pengadilan permanen internasional ini juga jurisdiksinya kadangkala terbatas hanya kepada negara saja, misalnya Mahkamah Internasional. Sedangkan kegiatan-kegiatan atau hubungan-hubungan perdagangan internasional  dewasa  ini  peranan subyek-subyek hukum perdagangan internasional non-negara juga penting.
Bentuk kedua adalah pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus. Dibandingkan dengan pengadilan permanen, pengadilan ad hoc atau khusus ini lebih populer, terutama dalam kerangka suatu organisasi perdagangan internasional. Badan pengadilan ini berfungsi cukup penting dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul dari perjanjian-perjanjian perdagangan internasional.
Contoh yang menonjol adalah peranan badan-badan pengadilan khusus dalam kerangka GATT (kemudian digantikan oleh WTO), yakni dengan adanya badan-badan panel yang menyelesaikan sengketa- sengketa  ekonomi  internasional  antar  negara-negara  anggota GATT/WTO.
Faktor penting yang mendorong negara-negara untuk menyerahkan sengketanya kepada badan-badan peradilan seperti ini adalah karena hakim-hakimnya yang tidak harus seorang ahli hukum. Ia bisa saja seorang ahli atau spesialis mengenai pokok sengketa. Kedua, adanya perasaan dari sebagian besar negara yang kurang percaya kepada suatu badan peradilan (internasional) yang dianggap kurang tepat untuk  menyelesaikan sengketa-sengketa  dalam  bidang perdagangan
internasional.
E. Hukum Yang Berlaku
1. Pengantar
Masalah hukum yang akan diberlakukan atau diterapkan oleh badan  peradilan termasuk arbitrase adalah  salah satu  masalah krusial dalam hukum kontrak internasional, termasuk dalam hukum perdagangan internasional.
Masalahnya adalah hukum yang berlaku ini menjadi penentu
kepastian hukum terutama bagi badan peradilan bahwa ia telah menerapkan hukumnya dengan benar. Dalam hal ini, badan peradilan tidak mengambil jalan pintas dalam menerapkan suatu hukum terhadap suatu sengketa yang dibawa ke hadapannya.
Perlu ditegaskan di sini bahwa pilihan hukum (choice of law, proper law atau applicable law) suatu hukum nasional dari suatu negara tertentu tidak berarti bahwa badan peradilan negara tesebut secara otomatis yang berwenang menyelesaikan sengketanya. Yang terakhir ini disebut juga choice of forum (pembahasan di atas). Artinya, choice of law tidak sama dengan choice of forum.
Peran choice of law di sini adalah hukum yang akan digunakan
oleh badan peradilan (pengadilan atau arbitrase) untuk: (1) menentukan keabsahan suatu kontrak dagang;
(2) menafsirkan suatu kesepakatan-kesepakatan dalam kontrak;
(3) menentukan telah dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu prestasi (pelaksanaan suatu kontrak dagang); dan
(4) menentukan akibat-akibat hukum dari adanya pelanggaran terhadap
kontrak.
Hukum yang akan berlaku ini dapat mencakup beberapa macam hukum. Hukum-hukum tersebut adalah:
(1) hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa (applicable
substantive law atau lex causae);
(2) hukum yang akan berlaku untuk persidangan (procedural law); Hukum yang akan berlaku akan sedikit banyak bergantung pada
kesepakatan para pihak. Hukum yang akan berlaku tersebut dapat
berupa  hukum  nasional  suatu  negara  tertentu.  Biasanya  hukum nasional tersebut ada atau terkait dengan nasionalitas salah satu pihak. Cara pemilihan inilah yang lazim diterapkan dewasa ini.
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak sepakat
mengenai salah satu hukum nasional tersebut, biasanya kemudian mereka akan berupaya mencari hukum nasional yang relatif lebih netral.
Alternatif lainnya yang memungkinkan dalam hukum perdagangan
internasional adalah menerapkan prinsip-prinsip kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono). Namun demikian penerapan prinsip ini pun harus berdasarkan pada kesepakatan para pihak.
2. Kebebasan Para Pihak
Di atas telah dikemukakan bahwa dalam menentukan hukum yang akan berlaku, prinsip yang berlaku adalah kesepakatan para pihak yang didasarkan pada kebebasan para pihak dalam membuat perjanjian atau kesepakatan (party autonomy).
Kebebasan para pihak ini tampaknya sudah menjadi prinsip
hukum umum. Artinya, hampir setiap sistem hukum di dunia, yaitu
Common Law, Civil Law, dll., mengakui eksistensinya.
Bahkan, praktek para pelaku bisnis atau pedagang melihat prinsip kebebasan para pihak untuk menetapkan aturan-aturan dagang yang berlaku di antara mereka, merupakan suatu prinsip yang telah terkristalisasi.  Prinsip  inilah  yang  antara  lain  melahirkan
Kebebasan dalam memilih hukum yang berlaku ini (lex causae) sudah barang tentu ada batas-batasnya. Yang paling umum dikenal adalah bahwa kebebasan memilih hukum tersebut adalah:
(1) tidak bertentangan dengan UU atau ketertiban umum;
(2) kebebasan tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik;
(3) hanya berlaku untuk hubungan dagang;
(4) hanya berlaku dalam bidang hukum kontrak (dagang);
(5) tidak berlaku untuk menyelesaikan sengketa tanah; dan
(6) tidak untuk menyelundupkan hukum.
Menurut Cooke, kebebasan para pihak ini pun akan banyak dipengaruhi oleh sistem hukum nasional yang akan dipilih (baik oleh salah satu pihak atau kedua pihak). Tidak sekedar hanya menentukan hukum suatu negara, tetapi juga mempertimbangkan apakah hukum di negara tersebut konsisten atau tidak. Artinya, apakah hukum di sesuatu negara tertentu sering berubah-ubah tidak. Gerald Cooke dengan tepas menyatakan sebagai berikut:
“The significance of needing to provide for the 'proper' law is that the parties will frequently prefer to have their disputes dealt with by a legal system which is perhaps independent of each of the parties or which is recognised to have highly sophisticated and consistent trading laws.”
Dalam hukum nasional Indonesia mengenai arbitrase, yaitu UU Nomor 30 tahun 1999 mengenai Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hukum yang akan diberlakukan oleh para pihak diserahkan sepenuhnya kepada mereka. Pasal 56 UU tersebut menyatakan:
"(1) Arbiter  atau  majelis  arbitrase  mengambil  putusan berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan.
(2) Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku  terhadap  penyelesaian  sengketa  yang  mungkin telah timbul antara para pihak."
Model Arbitration Law 1985 juga menghormati kebebasan para pihak untuk memilih hukum yang akan berlaku. Pasal 28 Model Law menggariskan sebagai berikut:
"(1) The arbitral tribunal shall decide the dispute in accordance with such rules of law as are chosen by the parties as applicable to the substance of the dispute. Any designation of the law or legal system of a given State shall be construed, unless otherwise expressed, as directly referring to the substantive law of that State and not to its conflict of laws rules."
(2) Failing any designation by the parties, the arbitral tribunal shall apply the law determined by the conflict of laws rules which it considers applicable.
(3) The arbitral tribunal shall decide ex aequo et bono or amiable compositeur only if the parties expressly authorized to do so.
(4) In all cases, the arbitral tribunal shall decide in accordance with the terms of the contract and shall take into account the usages of the trade applicable to the transaction.'
Dari kedua instrumen hukum di atas, terdapat beberapa catatan pinggir yang cukup penting. Pertama, yang menonjol adalah bahwa kedua instrumen berbeda di dalam hal prioritas pengaturan mengenai hukum yang berlaku terhadap kontrak. UU Nomor 30 tahun 1999 menekankan  bahwa  arbitrator  atau   badan   arbitrase   harus menyandarkan pada hukum untuk mengambil putusan. Pasal ini tidak menentukan atau mensyaratkan bahwa hukum yang akan diterapkan tersebut haruslah pilihan hukum para pihak. Sedangkan Model Law dengan tegas menyatakan bahwa badan arbitrase harus menerapkan hukum yang dipilih para pihak. Tampaknya, ketentuan UU Nomor 30 tahun  1999  ini  perlu  disempurnakan  dengan  mengacu  atau mencantumkan klausul Model Law ini.
Kedua, UU Nomor 30 tahun 1999 membolehkan arbitrator atau badan arbitrase untuk menerapkan ex aequo et bono (pasal 56 ayat
1). Ketentuan yang sama dalam Model Law tercantum dalam pasal 28 ayat  3.  Bedanya adalah, UU nasional  kita  tidak  tegas  bahwa penerapan keadilan dan kepatutan ini hanya akan boleh dilakukan apabila para pihak dengan tegas diperintahkan oleh para pihak. Penjelasan pasal 56 hanya menyebut: 'Dalam hal arbiter diberi kebebasan...').  Rumusan  ini  tidak  tegas  siapa  yang  memberi kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan.
Ketiga, adalah masalah manakala para pihak tidak memilih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak. Dalam hal ini, UU nasional kita dan  Model Law memuat  aturan  yang  berbeda.  UU nasional kita tampaknya menganut jalan pintas. Penjelasan pasal 56
UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan, apabila para pihak tidak menentukan pilihan hukum, maka arbitrator atau  badan arbitrase harus menerapkan  hukum  tempat  arbitrase dilakukan.
Sedangkan Model Law menyatakan bahwa apabila para pihak tidak memilih hukum, maka badan arbitrase atau arbitrator harus mengacu kepada  hukum  yang  ditentukan  berdasarkan  aturan-aturan  hukum perdata  internasional  (conflict  of  laws  rules)  yang  oleh arbitrator atau badan arbitrase dianggap berlaku.
F. Pelaksanaan Putusan Sengketa Dagang
1. Pengantar
Masalah pelaksanaan putusan penyelesaian sengketa (khususnya yang dibuat di luar negeri) hingga kini masih menjadi suatu masalah yang tidak mudah. Hal ini disebabkan karena pihak yang kalah  di dalam suatu sengketa tidak  jarang  merasa  keberatan melaksanakan putusan tersebut. Bersamaan dengan itu, pengadilan di dalam negeri tersebut yang diharapkan dapat membantu proses pelaksanaan putusan ternyata kurang memberikan respon yang konstruktif.
Masalah ini pula yang saat ini menjadi ciri utama kelemahan
dari putusan-putusan penyelesaian sengketa oleh badan-badan penyelesaian sengketa asing. Inti masalahnya adalah dilaksanakan sutau putusan mencerminkan efektivitas suatu putusan.
Dalam  bagian  ini,  uraian  akan  melihat  secara  singkat
pelaksanaan putusan dari masing-masing cara penyelesaian sengketa, yaitu putusan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase asing dan pengadilan (asing).
2. Pelaksanaan Putusan APS
Penyelesaian  sengketa  melalui   alternatif   penyelesaian sengketa (APS) memiliki risiko yang cukup tinggi dalam hal pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan yang dikeluarkan. Pelaksanaan putusan melalui APS lebih banyak bergantung kepada itikad  baik para pihaknya. Hal ini  semata-mata  karena  sifat putusannya yang sejak awal dilandasi oleh asas konsensuil.
Masalahnya akan menjadi lebih sulit apabila putusan APS tersebut dibuat di luar negeri. Upaya pihak yang menang yang berupaya agar putusan APS dapat dilaksanakan semakin sangat bergantung kepada itikad baik ini. Tidak ada kepastian hukum kapan
dan apakah pihak yang kalah mau melaksanakan putusan APS tersebut.
3. Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Asing)
Pelaksanaan putusan arbitrase asing sudah menjadi isu yang lama. Masalah ini pula yang menjadi kelemahan utama dari cara penyelesaian melalui pengadilan atau hakim partikelir ini. Seperti telah disebut di muka, umumnya yang menjadi kendala dalam masalah ini adalah pelaksanaan (eksekusi) putusan oleh pihak yang kalah.
Upaya   masyarakat   internasional   dalam   mengurangi   dan
memperbaiki kelemahan ini telah lama dilakukan, yaitu sejak tahun
1927. Waktu itu masyarakat internasional mengeluarkan Konvensi Jenewa  tentang  Pengakuan  dan  Pelaksanaan  Putusan  Arbitrase. Konvensi ini kemudian direvisi oleh Konvensi New York 1958.
Sebenarnya timbulnya masalah ini merupakan refleksi dari konvensi-konvensi internasional pada umumnya, termasuk Konvensi New  York  1958  ini.  Masalahnya  adalah  konvensi  internasional seperti ini tidak mengatur peraturan-peraturan yang detail. Ia hanya mengatur hal-hal pokoknya saja. Dalam lingkup nasional, Konvensi internasional ini ibarat Undang-undang Pokok yang pelaksanaannya dijabarkan oleh Peraturan  Pemerintah,  Keputusan Presiden, dan seterusnya (implementing legislation-nya).
Kalau di dalam lingkup nasional ada hierarki pengaturan yang jelas, sebaliknya dalam lingkup internasional tidak ada. Masin- masing negara memiliki cara melaksanakan implementing legislation- nya. Keadaan demikian jelas menambah ruwetnya masalah pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing.
Konvensi New York 1958 (Convention on the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Awards) ditandatangani 10 Juni
1958 di kota New York. Konvensi New York mulai berlaku pada 2 Juni
1959.  Konvensi  ini  hanya  mensyaratkan  tiga  ratifikasi  agar
berlaku. Selanjutnya Konvensi akan berlaku tiga bulan sejak jumlah ratifikasi ketiga terpenuhi.
Konvensi mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 (lima) prinsip berikut di bawah ini:
(1) Konvensi  ini  menerapkan  prinsip  pengakuan  dan  pelaksanaan putusan arbitrase luar negeri dan menempatkan putusan tersebut pada kedudukan yang sama dengan putusan peradilan nasional.
(2) Konvensi ini mengakui prinsip putusan arbitrase yang mengikat tanpa perlu dicantumkan dalam putusannya.
(3) Konvensi  ini  menghindari  proses  pelaksanaan  ganda  (double enforcement process).
(4) Konvensi New York mensyaratkan penyederhanaan dokumentasi yang diberikan oleh pihak yang mencari pengakuan dan pelaksanaan putusan. Dalam hal ini Konvensi hanya mensyaratkan dua dokumen saja untuk dapat melaksanakan suatu putusan, yaitu: (a) Dokumen putusan atau salinannya yang sah dan (b) dokumen perjanjian arbitrase atau salinannya yang sah (pasal IV).
(5) Konvensi New York lebih lengkap dan komprehensif daripada hukum
nasional pada umumnya. Konvensi New York di samping mengatur pelaksanaan, juga mengatur pengakuan (recognition) terhadap suatu putusan arbirase asing.
Indonesia adalah anggota Konvensi New York dengan aksesi melalui Keputusan Presiden No. 34 tahun 1981, 5 Agustus 1981.
Aksesi ini didaftar di Sekretaris Jenderal PBB 7 Oktober 1981.
3. Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Masalah pelaksanaan putusan pengadilan juga masih menjadi masalah yang cukup serius. Pengadilan adalah refleksi kedaulatan negara dalam mengadili sesuatu sengketa. Putusan pengadilan karenanya tidak secara otomatis dapat dilaksanakan di wilayah kedaulatan negara lain.
Untuk supaya putusan tersebut dapat dilaksanakan di suatu
negara lain, ada dua kemungkinan berikut:
(1) menyidangkan kembali kasus tersebut dari awal sebagai suatu sengketa baru di pengadilan tersebut (di mana putusan dimintakan pelaksanaannya);
(2) pelaksanaan  putusan  pengadilan  di  suatu  negara  dapat dilaksanakan  apabila  negara-negara  yang  terkait  (ke-dua negara, dimana pelaksanaa putusan dimintakan) terikat baik apda suatu perjanjian bilateral atau perjanjian multilateral mengenai pelaksanaan putusan pengadilan di bidang sengketa- sengketa dagang (padanan kata asingnya yaitu sengketa-sengketa komersial).
Untuk hal yang pertama, sudah barang tentu sulit. Prosesnya
jadi panjang dan berlarut-larut. Belum lagi pertimbangan biaya yang  akan dikeluarkan untuk proses  tersebut.  Biasanya  proses berperkara di pengadilan di luar negeri tidaklah murah. Belum lagi timbul ketidak-pastian apakah putusannya akan sama dengan putusan yang dikeluarkan oleh badan peradilan sebelumnya.
Untuk hal yang kedua, adalah alternatif yang cukup layak. Sayangnya,   perjanjian-perjanjian   seperti   ini  baru   berupa perjanjian bilateral dan regional di  Eropa  Barat.  Perjanjian bilateral dapat ditemukan di antara negara-negara Eropa Barat dalam hal pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan secara
bilateral.
a. Konvensi Brussel 1968
Perjanjian regional di Eropa Barat mengenai pelaksanaan putusan pengadilan ini adalah the Convention on Jurisdiction and the  Enforcement of Judgment in Civil  and  Commercial  Matters (Konvensi Brussel), 27 september 1968. Konvensi Brussel ini beranggotakan Belgia, Belanda, Luxembourg, Perancis, Jerman, dan Italia). Selanjutnya negara-negara yang bergabung adalah Inggris, Irlandia, dan Denmark (1978), Spanyol dan Portugal (26 Mei 1989).
Konvensi Brussel bertujuan:
(1) mengatur jurisdiksi pengadilan di negara-negara anggotanya;
(2) memperkenalkan   prosedur   sederhana   untuk   pengakuan   dan pelaksanaan putusan; dan
(3) mengatur  pengakuan  terhadap  dokumen-dokumen  otentik  dari negara-negara anggotanya.
b. Konvensi Lugano 1988
Konvensi kedua yaitu the Convention on Jurisdiction and the Enforcement of Judgment in Civil and Commercial Matters (Konvensi Lugano)  ditandatangani  di  Lugano,  16  September  1988.  Negara anggota Konvensi ini adalah 12 negara Masyarakat Eropa dan 6 negara anggota European Free Trade Area (EFTA) yaitu Finlandia, Islandia, Norwegia, Austria, Swedia dan Swis.
Tujuan Konvensi ini adalah sama dengan Konvensi Brussel, yaitu mendorong pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan di antara negara anggotanya. Fungsi ini umumnya berkaitan dengan hal-
hal yang tidak diatur dalam Konvensi Brussel.
G. Penutup
Dari uraian di atas tampak bahwa hukum perdagagan internasional memberi kebebasan dan  peluang  yang  cukup  besar kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketanya. Dalam kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa termasuk pula kebebasan untuk  memilih hukum yang akan diterapkan  untuk  menyelesaikan sengketa.  Untuk   kedua  hal   ini   badan   peradilan   harus menghormatinya.
Mengenai forum penyelesaian sengketa yang tersedia, tampak masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahannya. Baik itu APS atau pengadilan masing-masing memiliki cirinya. Hal inilah yang perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh para pihak yang hendak menyelesaikan sengketanya.
Mengenai kebebasan para pihak untuk menentukan hukumnya, faktor yang penting adalah kestabilan hukum tersebut. Di dalam pengertian ini adalah pengetahuan para pihak terhadap hukum tersebut.  Selain  itu  pula  perlu  diperhatikan  praktik  dan pendekatan yang diterapkan badan peradilan yang akan menyelesaikannya. Seperti diuraikan di atas, para pihak perlu menyadari adanya praktik yang berbeda-beda antara badan peradilan di suatu negara dengan badan peradilan di negara lainnya.
Pertimbangan penting lainnya yang justru sangat esensial adalah pertimbangan kemungkinan dapat atau tidak dapatnya dilaksanakannya putusan (ekseskusi). Kegagalan atau kealpaan untuk mempertimbangkan faktor ini akan membuat upaya-upaya penyelesaian sengketa yang dipilih berdasarkan kebebasan para pihak menjadi tidak berarti.
DAFTAR PUSTAKA
Bagner, Hans, “Dispute Settlement,” dalam: Julian D.M. Lew and Clive Stanbrook (eds.), International Trade: Law and Practice, London: Euromoney, 1983.
Beherens, Peter, "Alternative Methods of Dispute Settlement in International Economic Relations," dalam: Ernst-Ulrich Petersmann and Gunther Jaenicke, Adjudication of International Trade Dispute in International and National Economic Law, Fribourg U.P., 1992.
Cooke, Gerald, “Disputes Resolution in International Trading,” dalam: Jonathan Reuvid (ed.), The Strategic Guide to International Trade, London: Kogan Page, 1997.
David,  Rene, Arbitration in International  Trade,  Netherlands: Kluwer, 1985.
Garcia-Amador, F.V., The Canging Law of International Claims, USA: Oceana Publications, Inc., 1984.
Harris, D.J., Cases and Materials on International Law, London: Sweet and Maxwell, 5th.ed., 1998.
Houtte, Hans Van, The Law of International Trade, London: Sweet and Maxwell, 1995.
Huala Adolf, “The Settlement of Investment Disputes under the ICSID Arbitration”, Thesis, Department of Law, Sheffield University, 1995.
Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajawali
Pers, cet.2., 1994.
Huala  Adolf,  Aspek-aspek  Negara  dalam  Hukum  Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3, 2002.
Hulieatt-James  M.,  and  N.  Gould,  International  Commercial
Arbitration, London: LLP, 1996.
Islam, M. Rafiqul, International Trade Law, Sydney: LBC, 1999.
Kohona, Palitha TB., , The Regulation of International Economic Relations  through  Law,  the  Netherlands:  Martinus  Nijhoff Publ., 1985.
Malirveni, G., "The Settlement of Disputes within International Organizations," dalam Mohammed Bedjaoui (ed)., International Law: Achievements and Prospects, Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers and UNESCO, 1991.
Mann, F.A., "Foreign Investment in the International Court of
Justice: the ELSI Case," 86 AJIL 92 (1992).
Poeggel W., and E. Oeser, "Methods of Diplomatic Settlement," dalam Mohammed Bedjaoui (ed)., International Law: Achievements and Prospects, Paris: UNESCO and Martinus Nijhoff, 1991.
Rubino-Sammartano, Mauro, International Arbitration Law, Deventer, Boston: Kluwer Law and Taxation Publsihers, 1990.
Saleh, Samir, "The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards in the States of the Arab Middle East", dalam Julian DM Lew,   (ed).,  Contemporary  Problems   in   International Arbitration, Netherlands: Martinus Nijhoff Publ., 1986.
Sanson, Michelle, Essential International Trade Law, Sydney: Cavendish, 2002.
Seidl-Hohenveldern, I., "General Course on Public International
Law," 198 Recueil des Cours 198 (1986).
Themaat, Verloren van, The Changing Structure of International
Economic Law, the Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers,
1981.

This post was written by: RoniQueenet
Roni is a professional blogger, web designer and front end web developer. Follow him on Twitter
 
 


1 Responses to “PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL”
19 Juli 2017 pukul 00.00
Good.... a step forward for indo cyberlaw
Posting Komentar