Selasa, 08 Mei 2012

PENGANTAR HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

A. Pengantar dan Definisi

Hukum perdagangan internasional adalah bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup luas. Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat mencakup banyak jenisnya. Dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari barter, jual beli barang atau komoditi (produk-produk pertanian, perkebunan, dan sejenisnya), hingga hubungan atau transaksi dagang yang kompleks.
Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang internasional ini sedikit banyak disebabkan oleh adanya jasa teknologi (khususnya teknologi informasi). Sehingga, transaksi-transaksi dagang semakin berlangsung dengan cepat. Batas-batas negara bukan lagi halangan dalam bertransaksi. Bahkan dengan pesatnya teknologi, dewasa ini para pelaku dagang tidak perlu mengetahui atau mengenal siapa rekanan dagangnya yang berada jauh di belahan bumi lain. Hal ini tampak dengan lahirnya transaksi-transaksi yang disebut dengan e-commerce.
Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subyek hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang internasional. Yang menjadi fakta adalah bahwa perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk menjadi makmur, sejahtera dan kuat. Hal ini sudah banyak terbukti dalam sejarah perkembangan dunia.
Besar dan jayanya negara-negara di dunia tidak terlepas dari keberhasilan dan aktivitas negara-negara tersebut di dalam perdagangan internasional. Sebagai satu contoh, kejayaan Cina masa lalu tidak terlepas dari kebijakan dagang yang terkenal dengan nama ‘Silk Route’ atau jalan suteranya. Silk Route tidak lain adalah rute-rute perjalanan yang ditempuh oleh saudagar-

saudagar Cina untuk berdagang dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Setelah kejayaan Cina, menyusul negara-negara lain seperti Spanyol dengan Spanish Conquistadors-nya, Inggris dengan The British Empire-nya (beserta perusahaan multinasionalnya yang pertama di dunia, yakni ‘the East-India Company’, Belanda dengan VOC-nya, dll. Kejayaan negara-negara ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintahnya untuk melakukan transaksi dagang internasional.
Kesadaran untuk melakukan transaksi dagang internasional ini juga telah cukup lama disadari oleh para pelaku pedagang di tanah air sejak. Adalah Amanna Gappa, seorang kepala suku Bugis yang sadar akan pentingnya dagang (dan pelayaran) bagi kesejahteraan sukunya. Keunggulan suku bugis dalam berlayar dengan hanya menggunakan perahu-perahu bugis yang kecil telah mengarungi lautan luas hingga ke Malaya (sekarang menjadi wilayah Singapura dan Malaysia).
Yang menjadi esensi untuk bertransaksi dagang ini adalah

dasar filosofinya. Telah dikemukakan bahwa berdagang ini adalah

suatu “kebebasan fundamental” (fundamental freedom). Dengan kebebasan ini siapa saja harus memiliki kebebasan untuk berdagang. Kebebasan ini tidak boleh dibatasi oleh adanya perbedaan agama, suku, kepercayaan, politik, sistem hukum, dll.
Piagam Hak-hak dan Kewajiban Negara (Charter of Economic Rights and Duties of States) juga mengakui bahwa setiap negara memiliki hak untuk melakukan perdagangan internasional. (“Every
State has the right to engage in international trade”) (Pasal 4).

1. Definisi

Cepatnya perkembangan bidang hukum ini ternyata masih belum ada kesepakatan tentang definisi untuk bidang hukum ini. Hingga dewasa ini terdapat berbagai definisi yang satu sama lain berbeda.

a. Definisi Schmitthoff

Definisi pertama adalah definisi yang dikeluarkan oleh Sekretaris Jenderal PBB dalam laporannya tahun 1966.4 Definisi ini sebenarnya adalah definisi buatan seorang guru besar ternama dalam hukum dagang internasional dari City of London College, yaitu Professor Clive M. Schmitthoff. Sehingga dapat dikatakan bahwa definisi yang tercakup dalam Laporan Sekretaris Jenderal tersebut tidak lain adalah laporan Schmitthoff.
Schmitthoff mendefinisikan hukum perdagangan internasional sebagai: “... the body of rules governing commercial relationship of a private law nature involving different nations”.
Dari definisi tersebut dapat tampak unsur-unsur berikut:

1) Hukum perdagangan internasional adalah sekumpulan aturan

yang mengatur hubungan-hubungan komersial yang sifatnya
hukum perdata,

2) Aturan-aturan hukum tersebut mengatur transaksi-transaksi yang berbeda negara.
Definisi di atas menunjukkan dengan jelas bahwa aturan- aturan tersebut bersifat komersial. Artinya, Schmitthoff dengan tegas membedakan antara hukum perdata (“private law nature”) dan hukum publik.
Dalam definisinya itu, Schmitthoff menegaskan bahwa ruang lingkup bidang hukum ini tidak termasuk hubungan-hubungan
komersial internasional dengan ciri hukum publik. Termasuk dalam

bidang hukum publik ini yakni aturan-aturan yang mengatur tingkah laku atau perilaku negara-negara dalam mengatur perilaku perdagangan yang mempengaruhi wilayahnya.
Dengan kata lain, Schmitthoff menegaskan wilayah hukum perdagangan internasional tidak termasuk atau terlepas dari aturan-aturan hukum internasional publik yang mengatur hubungan- hubungan komersial. Misalnya, aturan-aturan hukum internasional yang mengatur hubungan dagang dalam kerangka GATT atau aturan- aturan yang mengatur blok-blok perdagangan regional, aturan- aturan yang mengatur komoditi, dsb.7 Dalam salah satu tulisannya Schmitthoff dengan jelas menegaskan sebagai berikut:
“First, the modern law of international trade is not a branch of international law; it does not form part of the jus gentium, but it is applied in every national jurisdiction by tolerance of the national sovereign whose public policy may override or qualify a particular rule of that law.”8


Dari latar belakang definisi tersebut pun berdampak pada ruang lingkup cakupan hukum dagang internasional. Schmitthoff menguraikan bidang-bidang berikut sebagai bidang cakupan bidang hukum ini:
1) Jual beli dagang internasional: (i) pembentukan kontrak; (ii)
perwakilan-perwakilan dagang (agency); (iii) Pengaturan penjualan eksklusif;
2) Surat-surat berharga

3) Hukum mengenai kegiatan-kegiatan tentang tingkah laku mengenai perdagangan internasional
4) Asuransi

5) Pengangkutan melalui darat dan kereta api, laut, udara, perairan pedalaman
6) Hak milik industri
7) Arbitrase komersial.


b. Definisi M. Rafiqul Islam

Dalam upayanya memberi batasan atau definisi hukum perdagangan internasional, Rafiqul Islam menekankan keterkaitan erat antara perdagangan internasional dan hubungan keuangan (financial relations). Dalam hal ini Rafiqul Islam memberi batasan perdagangan internasional sebagai "... a wide ranging, transnational, commercial exchange of goods and services between individual business persons, trading bodies and States".
Hubungan finansial terkait erat dengan perdagangan internasional. keterkaitan erat ini tampak karena hubungan- hubungan keuangan ini mendampingi transaksi perdagangan antara para pedagang (dengan pengecualian transaksi barter atau counter-
trade).

Dengan adanya keterkaitan erat antara perdagangan internasional dan keuangan, Rafiqul Islam mendefinisikan "hukum perdagangan dan keuangan ("international trade and finance law") sebagai suatu kumpulan aturan, prinsip, norma dan praktek yang menciptakan suatu pengaturan (regulatory regime) untuk transaksi- transaksi perdagangan transnasional dan sistem pembayarannya, yang memiliki dampak terhadap perilaku komersial lembaga-lembaga perdagangan. Kegiatan-kegiatan komersial tersebut dapat dibagi ke dalam kegiatan "komersial" yang berada dalam ruang lingkup hukum perdata internasional atau Conflict of Laws; perdagangan antar pemerintah atau antar negara, yang diatur oleh hukum internasional publik.
Dari batasan tersebut tampak bahwa ruang lingkup hukum perdagangan internasional sangat luas. Karena ruang lingkup kajian bidang hukum ini sifatnya adalah lintas batas atau transnasional, konsekuensinya adalah terkaitnya lebih dari satu sistem hukum yang berbeda.


c. Definisi Michelle Sanson

Sarjana lainnya yang mencoba memberi batasan bidang hukum ini adalah sarjana Australia Sanson. Sanson memberi batasan bidang ini sesuai dengan pengeritan kata-kata dari bidang hukum ini, yaitu hukum, dagang dan internasional (dengan kata dasar nasion atau negara).
Hukum perdagangan internasional menurut definisi Sanson

‘can be defined as the regulation of the conduct of parties
involved in the exchange of goods, services and technology between nations.’
Definisi di atas sederhana. Ia tidak menyebut secara jelas bidang hukum ini jatuh ke bidang hukum yang mana: hukum privat, publik, atau hukum internasional. Sanson hanya menyebut bidang hukum ini adalah the regulation of the conduct of parties. Para kajiannya, Sanson agak jelas: yaitu jual beli barang, jasa dan teknologi.
Meskipun memberi definisi yang mengambang tersebut, Sanson membagi hukum perdagangan internasional ini ke dalam dua bagian utama, yaitu hukum perdagangan internasional publik (public interntional trade law) dan hukum perdagangan internasional privat (private international trade law).
Yang pertama, public international trade law adalah hukum yang mengatur perilaku dagang antar negara. Sedangkan yang kedua, private international trade law adalah hukum yang mengatur perilaku dagang secara orang perorangan (private traders) di negara-negara yang berbeda.
Meskipun ada pembedaan ini, namun para sarjana mengakui bahwa batas-batas kedua istilah ini pun sangat sulit untuk dibuat garis batasnya. Sanson menyatakan bahwa ‘the modern development is that the distinction between publik and privat international
trade law has less meaning.’


Mirip dengan Sanson, Rafiqul Islam melihat hubungan atau keterkaitan ini juga sulit untuk tidak bersentuhan dan saling mempengaruhi. Beliau menulis:
‘The effect of public international law on private transactons is indirect but can be very profound in certain aspects. Some such aspects of private transactions will be considered merely because public international law has shaped, or is in the process of reshaping, their legal order.’



d. Definisi Hercules Booysen

Booysen sarjana Afrika Selatan tidak memberi definisi secara tegas. Beliau menyadari bahwa ilmu hukum sangatlah kompleks. Karena itu, upaya untuk membuat definisi bidang hukum, termasuk hukum perdagangan internasional, sangatlah sulit dan jarang tepat.
Karena itu dalam upayanya memberi definisi tersebut, beliau hanya mengungkapkan unsur-unsur dari definisi hukum perdagangan internasional. Menurut beliau ada tiga unsur, yakni:
(1) Hukum perdagangan internasional dapat dipandang sebagai suatu cabang khusus dari hukum internasional (international trade law may also be regarded as a specialised branch of international law).
(2) Hukum perdagangan internasional adalah aturan-aturan hukum internasional yang berlaku terhadap perdagangan barang, jasa dan perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI). (International trade law can be described as those rules of international law which are applicable to trade in goods, services and the protection of intellectual property).
Bentuk-bentuk hukum perdagangan internasional seperti ini

misalnya saja adalah aturan-aturan WTO, perjanjian multilateral mengenai perdagnagan mengenai barang seperti GATT, perjanjian mengenai perdagangan di bidang jasa (GATS/WTO, dan perjanjia mengenai aspek-aspek yang terkait
Dalam lingkup definisi ini diakui bahwa negara bukanlah semata-mata pelaku utama dalam bidang perdagangan internasional. Negara lebih berperan sebagai regulator (pengatur). Karena itu hukum perdagangan internasional juga mencakup aturan-aturan internasional mengenai transaksi-
transaksi nyata yang bersifat internasional dari para

pedagang (international law merchants). Karenanya,
international law merchants ini perdagangan internasional. adalah bagian dari hukum

(3) Hukum perdagangan internasional terdiri dari aturan-aturan hukum nasional yang memiliki atau pengaruh langsung terhadap perdagangan internasional secara umum. Karena sifat aturan- aturan hukum nasional tersebut, maka atura-aturan tersebut merupakan bagian dari hukum perdagangan internasional. contoh dari aturan hukum nasional seperti itu adalah perundang- undangan yang ekstrateritorial (the extraterritorial legislation).
Dari 4 (empat) definisi di atas tampak semuanya ada benarnya. Tetapi penulis lebih pro kepada definisi Rafiqul Islam. Dari batasan Rafiqul Islam di atas, tampak adanya keterkaitan erat antara hukum perdagangan internasional dengan hukum internasional publik. Memang sekilas tampak bahwa dampak dan pengaruh hukum internasional publik ini tidak langsung. Namun
demikian pengaruh ini dapat berdampak cukup luas terhadap

beberapa aspek dari hukum perdagangan internasional. Hal ini disebabkan karena hukum internasional publik dalam beberapa hal telah membentuk dan sedang dalam proses pembentukan ketentuan- ketentuan yang mengatur aspek-aspek perdata dari transaksi
perdagangan internasional.
2. Pendekatan Hukum Perdagangan Internasional
a. Hubungan antara Hukum Perdagangan Internasional dan Bidang

Hukum lainnya

Satu catatan lain yang juga penting adalah hubungan antara hukum perdagangan internasional dan hukum lainnya yang terkait dengan perdagangan internasional. Di bagian awal tulisan ini tampak luasnya bidang cakupan hukum perdagangan internasional ini. Luasnya bidang cakupan membuat cakupan yang dikajinya sulit untuk tidak tumpang tindih dengan bidang-bidang lainnya. Misalnya dengan hukum ekonomi internasional, hukum transaksi bisnis internasional, hukum komersial internasional, dll.
Catatan di atas menunjukkan kedudukan penulis yang mengakui adanya keterkaitan antara hukum perdagangan internasional dengan hukum internasional. Di sisi lain, penulis berpendirian bahwa hukum ekonomi internasional adalah juga bagian atau cabang dari hukum internasional.
Masalahnya adalah di mana letak atau garis batas di antara hukum perdagangan dengan bidang-bidang hukum lain disebut di atas, khususnya hukum ekonomi internasional. Ada bidang-bidang yang sama-sama tunduk pada dua bidang hukum ini. Misalnya saja, pembahasan mengenai subyek-subyek dan sumber-sumber dari kedua bidang hukum sedikit banyak hampir sama.
Sementara ini pendekatan yang ditempuh untuk membedakan kedua bidang hukum ini adalah melihat subyek hukum yang tunduk kepada kedua bidang hukum tersebut. Hukum ekonomi internasonal lebih banyak mengatur subyek hukum yang bersifat publik (policy), seperti misalnya hubungan-hubungan di bidang ekonomi yang
dilakukan oleh negara atau organisasi internasional. Sedangkan

hukum perdagangan internasional lebih menekankan kepada hubungan- hubungan hukum yang dilakukan oleh badan-badan hukum privat.
Dalam kenyataannya pendirian tersebut tidak begitu valid. Hukum ekonomi internasional dalam kenyataannya juga mengatur kegiatan-kegiatan atau transaksi-transaksi badan hukum privat atau yang terkait dengan kepentingan privat, misalnya mengenai perlindungan dan nasionalisasi atau ekspropriasi perusahaan asing. Selain itu, meskipun hukum ekonomi internasional mengatur subyek-subyek hukum publik atau negara, namun aturan-aturan tersebut bagaimana pun juga akan berdampak pada individu atau subyek-subyek hukum lainnya di dalam wilayah suatu negara.


b. Hukum Perdagangan Internasional Bersifat Interdisipliner


Karakteristik lain dari hukum perdagangan internasional ini adalah pendekatannya yang interdisipliner. Untuk dapat memahami bidang hukum ini secara komprehensif, dibutuhkan sedikit banyak bantuan disiplin-disiplin (ilmu) lain. Dalam bidang hukum ini terkait dengan bidang pengangkutan (darat, udara dan khususnya laut). Hal ini membutuhkan bantuan dan pemahaman disiplin ilmu pelayaran.
Keterkaitan dengan pembayaran dalam perdagangan internasional akan terkait dengan praktik perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Hal ini membutuhkan bantuan dan pemahaman disiplin ilmu perbankan dan keuangan.
Keterkaitan dengan perdagangan itu sendiri akan terkait dengan praktik dan teknik-teknik perdagangan. Hal ini membutuhkan bantuan dan pemahaman ilmu praktik perdagangan.
Disiplin-disiplin ilmu lainnya yang terkait lainnya misalnya adalah teknologi, ekonomi. Yang juga penting adalah ilmu politik, yaitu bagaimana kebijakan politik suatu negara yang berpengaruh terhadap kebijakan dagang suatu negara.

B. Prinsip-prinsip Dasar Hukum Perdagangan Internasional

Prinsip-prinsip dasar (fundamental principles) yang dikenal dalam hukum perdagangan internasional diperkenalkan oleh sarjana hukum perdagangan internasional Profesor Aleksancer Goldštajn. Beliau memperkenalkan 3 (tiga) prinsip dasar tersebut, yaitu (1) prinsip kebebasan para pihak dalam berkontrak (the principle of the freedom of contract); (2) prinsip pacta sunt servanda; dan (3) prinsip penggunaan arbitrase.
1. Prinsip Dasar Kebebasan Berkontrak

Prinsip pertama, kebebasan berkontrak, sebenarnya adalah prinsip universal dalam hukum perdagangan internasional. Setiap sistem hukum pada bidang hukum dagang mengakui kebebasan para pihak ini untuk membuat kontrak-kontrak dagang (internasional).
Schmitthoff menanggapi secara positif kebebasan pertama ini. Beliau menyatakan:
“The autonomy of the parties’ will in the law of contract is the foundation on which an autonomous law of international trade can be built. The national sovereign has,..., no objection that in that area an autonomous law of international trade is developed by the parties, provided always that that law respects in every national jurisdiction the limitations imposed by public policy.”

Kebebasan tersebut mencakup bidang hukum yang cukup luas. Ia meliputi kebebasan untuk melakukan jenis-jenis kontrak yang para pihak sepakati. Ia termasuk pula kebebasan untuk memilih forum penyelesaian sengketa dagangnya. Ia mencakup pula kebebasan untuk memilih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak, dll.
Kebebasan ini sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan UU, kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan, dan lain-lain persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing sistem hukum.

2. Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda


Prinsip kedua, pacta sunt servanda adalah prinsip yang mensyaratkan bahwa kesepakatan atau kontrak yang telah ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan itikad baik). Prinsip ini pun sifatnya universal. Setiap sistem hukum di dunia menghormati prinsip ini.
3. Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase

Prinsip ketiga, prinsip penggunaan arbitrase tampaknya terdengar agak ganjil. Namun demikian pengakuan Goldštajn menyebut prinsip ini bukan tanpa alasan yang kuat. Arbitrase dalam perdagangan internasional adalah forum penyelesaian sengketa yang semakin umum digunakan. Klausul arbitrase sudah semakin banyak dicantumkan dalam kontrak-kontrak dagang. Oleh karena itulah prinsip ketiga ini memang relevan.
Goldštajn menguraikan kelebihan dan alasan mengapa penggunaan arbitrase ini beliau jadikan prinsip dasar dalam hukum perdagangan internasional:
“Moreover, to the extent that the settlement of differences is referred to arbitration, a uniform legal order is being created. Arbitration tribunals often apply criteria other than those applied in courts. Arbitrators appear more ready to interpret rules freely, taking into account customs, usage and business practice. Further, the fact that the enforcement of foreign arbitral awards is generally more easy than the enforcement of foreign court decisions is conducive to a preference for arbitration.”

4. Prinsip Dasar Kebebasan Komunikasi (Navigasi)

Di samping tiga prinsip dasar tersebut, prinsip dasar lainnya yang menurut penulis relevan adalah prinsip dasar yang dikenal dalam hukum ekonomi internasonal, yaitu prinsip kebebasan untuk berkomunikasi (dalam pengertian luas, termasuk di dalamnya kebebasan bernavigasi). Komunikasi atau navigasi adalah kebebasan para pihak untuk berkomunikasi untuk keperluan dagang dengan
siapa pun juga dengan melalui berbagai sarana navigasi atau
komunikasi, baik darat, laut, udara, atau melalui sarana elektronik. Kebebasan ini sangat esensial bagi terlaksananya perdagangan internasional. Aturan-aturan hukum (internasional) memfasilitasi kebebasan ini.
Dalam berkomunikasi untuk maksud berdagang ini kebebasan para pihak tidak boleh dibatasi oleh sistem ekonomi, sistem politik, atau sistem hukum. Bandingkan dengan pendapat profesor Goldštajn di bawah ini ketika beliau membahas hubungan antara sistem ekonomi dan politik dalam kaitannya dengan hukum perdagangan internasional:
“The law governing trade transactions is neither capitalist nor socialist; it is a means to an end, and therefore, the fact that the beneficiaries of such transactions are different in this or that country is no obstacle to the development of international trade. The law of international trade is based on the general principles accepted in the entire world.” (Huruf miring oleh penulis).

Pernyataan terakhir Goldštajn di atas, yaitu bahwa hukum perdagangan internasional didasarkan pada prinsip-prinsip umum yang diterima di seluruh dunia menyatakan seolah-seolah hukum perdagangan internasional dapat diterima oleh sistem hukum di dunia. Pendapat ini benar. Sarjana terkemuka lainnya, Profesor Tammer, memperkuat pernyataan tersebut:
“The law of external trade of the countries of planned economy does not differ in its fundamental principles from the law of external trade of other countries, such as, e.g., Austria or Switzerland. Consequently, international trade law specialists of all countries have found without difficulty that they speak a ‘common language.”
C. Eksistensi dan Tujuan Hukum Perdagangan Internasional

Hubungan-hubungan perdagangan internasional antar negara sudah ada sejak lama. Hubungan-hubungan ini sudah ada sejak adanya negara-negara dalam arti negara kebangsaan, yaitu bentuk- bentuk awal negara dalam arti modern. Perjuangan negara-negara ini untuk memperoleh kemandirian dan pengawasan (kontrol) terhadap ekonomi internasional telah memaksa negara-negara ini untuk mengadakan hubungan-hubungan perdagangan yang mapan dengan negara-negara lainnya. Mereka menyadari bahwa perdagangan adalah satu-satunya cara untuk pembangunan ekonomi mereka.
Seperti telah dikemukakan di awal tulisan ini, sejak dulu dan bahkan dewasa ini semakin banyak negara sadar bahwa kebijakan menutup diri sudah jauh-jauh ditinggalkan. Pendirian ini semakin mendorong negara untuk memperluas aktivitas perdagangannya.
Cara pandang ini sedikit banyak dilatarbelakangi dan dipengaruhi oleh beberapa aliran atau teori ekonomi. Pada awal perkembangannya, terutama abad ke 15 dan 16, teori atau aliran yang mula lahir adalah teori merkantilisme. Para merkantilis berpendirian perdagangan internasional sebagai instrumen kebijakan nasional. Mereka menekankan pentingnya ekspor sebesar- besarnya dan menekan impor serendah-rendahnya. Keuntungan dari selisih ekspor - impor merupakan keuntungan bagi negara (yang waktu itu diwujudkan dalam bentuk emas).
Reaksi dari aliran itu adalah teori keunggulan komparatif yang diperkenalkan oleh David Ricardo (1772-1823). Ricardo menekankan spesialisasi dari hasil suatu produk. Smith menganggap perdagangan internasional sebagai salah satu bagian dari keunggulan komparatif (principle of comparative advantage). Teori
beliau menyatakan bahwa untuk menjadi pemain utama dalam

perdagangan, faktor yang penting bukanlah ukuran, tetapi bagaimana memaksimalkan potensi.
Contoh klasik adalah Jepang. Dari segi geografis, kekayaan alam dan luas wilayah, Jepang relatif kurang beruntung. Tetapi dengan kekuatan manajemen dalam perdagangan internasionalnya, negeri ini berhasil menjadikannya sebuah negara yang paling penting di dunia dewasa ini.
Semakin luasnya aktivitas perdagangan ini yang dewasa ini dikenal dengan "liberalisasi perdagangan", sistem keuangan atau pasar internasional yang stabil untuk memberikan modal untuk melaksanakan perdagangan internasional tersebut. Karena itu, keterkaitan antara perdagangan internasional dan sistem keuangan atau moneter internasional menjadi semakin penting.
Tidak terlalu mengherankan apabila masyarakat internasional kemudian menyelenggarakan konperensi Bretton Woods guna mendirikan Bank Dunia - IMF untuk maksud ini. Berdirinya ke-2 lembaga keuangan ini semata-mata untuk menjaga agar sistem moneter internasional dapat terpelihara (stabil) dan juga memberi pinjaman jangka pendek guna menanggulangi kesulitan neraca pembayaran yang disebabkan oleh adanya defisit perdagangan ekspor-impor negara-negara. Krisis keuangan internasional pada tahun 1970-an juga telah mempertegas pentingnya hubungan erat
ini.

Dalam upaya negara-negara ini meningkatkan pertumbuhan ekonomi mereka, dewasa ini mereka cenderung membentuk blok-blok perdagangan baik bilateral, regional maupun multilateral. Dalam kecenderungan ini pun peran perjanjian internasional menjadi
semakin penting.

Semakin pentingnya peran perjanjian-perjanjian di bidang ekonomi atau perdagangan ini pun telah melahirkan aturan-aturan yang mengatur perdagangan internasional di bidang barang, jasa dan penamaman modal di antara negara-negara.
Tujuan hukum perdagangan internasional sebenarnya tidak berbeda dengan tujuan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade, 1947) yang termuat dalam Preambule-nya. Tujuan tersebut adalah:
(a)untuk mencapai perdagangan internasional yang stabil dan menghindari kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek perdagangan nasional yang merugikan negara lainnya.
(b)untuk meningkatkan volume perdaganan dunia dengan menciptakan perdagangan yang menarik dan menguntungkan bagi pembangunan ekonomi semua negara;
(c)meningkatkan standar hidup umat manusia; dan

(d) meningkatkan lapangan tenaga kerja.

Tujuan lainnya yang juga relevan adalah:

(e)untuk mengembangkan sistem perdagangan multilateral, bukan sepihak suatu negara tertentu, yang akan mengimplementasikan kebijakan perdagangan terbuka dan adil yang bermanfaat bagi semua negara; dan
(f)meningkatkan pemanfaatan sumber-sumber kekayaan dunia dan meningkatkan produk dan transaksi jual beli barang.
Ada pula yang menyatakan bahwa aturan-aturan perdagangan internasional juga pada analisis akhirnya akan menciptakan perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini antara lain
dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri AS, Hull. Tesis ini tampaknya
benar. Manakala dua atau lebih negara berhubungan dan bertransaksi dagang dan mereka memperoleh keuntungan dari perdagangan tersebut, otomatis keadaan dunia menjadi sedikit banyak lebih baik. Artinya, situasi dan kondisi dunia akan semakin kondusif.
Sebenarnya tesis Hull tersebut sudah lama dikumandangkan oleh Immanuel Kant, yang selama ini dikenal juga sebagi bapak hukum internasional. Dalam tulisannya berjudul ‘On Eternal Peace,’ Kant menyatakan bahwa ‘spirit of trade could not co-exist with war.’
Yang juga cukup menarik adalah tesis Hull di atas juga telah cukup lama disadari di tanah air. Salah seorang kepala suku Bugis ternama, yaitu Amanna Gappa, juga menyadari bahwa tujuan (unifikasi) hukum dagang adalah untuk mencegah persaingan di antara suku bangsanya dan juga memajukan kerjasama di antara mereka guna kesejahteraan di antara mereka. Terjemahan saduran hasil penelitian terhadap suku terkenal Bugis ini yang terkenal dengan hukum pelayaran dan dagangnya tergambarkan sebagai berikut:
“One of thse chiefs was Amanna Gappa (=father of Gappa) who headed his countrymen at Makassar. Most probably he was a very intelligent and energetic man and he may have been the first to realize the great importance of navigation and trade for his people as the only fields of endeavour in which they could earn a living. We may assume that this was the bacground of his taking initiative in inviting his colleagues from other parts of Indonesia in order to collect the different rules which were in force in their respective regions and to compile a uniform navigation and trade law. By doing so he tried to prevent heavy competition among his countrymen and to stimulate co- operation for their own welfare.” (Huruf miring oleh kami).



Meskipun adanya tujuan bagus tersebut di atas, hukum perdagangan internasional masih memiliki cukup banyak kelemahan. Kelemahan tersebut tampaknya juga dapat ditemui dalam bidang- bidang hukum lainnya, yakni terdapatnya pengecualian-pengecualian atau klausul-klausul 'penyelamat' yang bersifat memperlonggar kewajiban-kewajiban hukum. Kelemahan spesifik tersebut yaitu:
(a)hukum perdagangan internasional sebagian besar bersifat pragmatis dan permisif. Hal ini mengakibatkan aturan-aturan hukum perdagangan internasional kurang obyektif di dalam
'memaksakan' negara-negara untuk tunduk pada hukum. Dalam kenyataannya, negara-negara yang memiliki kekuatan politis dan ekonomi memanfaatkan perdagangan sebagai sarana kebijakan politisnya.
(b)Aturan-aturan hukum perdagangan internasional bersifat mendamaikan dan persuasif (tidak memaksa). Kelemahan ini sekaligus juga kekuatan bagi perkembangan hukum perdagangan internasional yang menyebabkan atau memungkinkan perkembangan
hukum ini di tengah krisis.


D. Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional

Dari uraian di atas tampak bahwa hukum perdagangan internasional telah ada sejak lahirnya negara dalam arti modern. Sejak saat itu, hukum perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang cukup pesat sesuai dengan perkembangan hubungan-hubungan perdagangan.
Dilihat dari perkembangan sumber hukumnya (dalam arti materil), maka perkembangan hukum perdagangan internasional dapat dikelompokkan ke dalam 3 tahap, yakni:
(1) Hukum perdagangan internasional dalam masa awal pertumbuhan.
Hukum perdagangan internasional lahir pada awalnya dari praktek para pedagang. Hukum yang diciptakan oleh para pedagang

ini lazim disebut pula sebagai lex mercatoria (law of merchant).

Pada awal perkembangannya ini Lex Mercatoria tumbuh dari adanya 4 faktor berikut:
(a) lahirnya aturan-aturan yang timbul dari kebiasaan dalam berbagai pekan raya (the law of the fairs);
(b) lahirnya kebiasaan-kebiasaan dalam hukum laut;

(c) lahirnya kebiasaan-kebiasaan yang timbul dari praktek penyelesaian sengketa-sengketa di bidang perdagangan; dan
(d) berperannya notaris (public notary) dalam memberi pelayanan jasa-jasa hukum(dagang).

(2) Hukum perdagangan internasional yang dicantumkan dalam hukum nasional
Dalam tahap perkembangan ini, negara-negara mulai sadar perlunya pengaturan hukum perdagangan internasional. Mereka lalu
mencantumkan aturan-aturan perdagangan internasional dalam kitab
undang-undang hukum (perdagangan internasional) mereka. Aturan- aturan tersebut sedikit banyak adalah aturan-aturan yang mereka adopsi dari lex mercatoria. Misalnya saja Perancis membuat Kitab Undang-undang Hukum Dagang-nya (code de commerce) tahun 1807, Jerman menerbitkan Allgemeine Handelsgezetbuch tahun 1861, dll.
(3) Lahirnya aturan-aturan hukum perdagangan internasional dan Munculnya Lembaga-lembaga Internasional yang mengurusi Perdagangan Internasional.
Dalam perkembangan ketiga ini, aturan-aturan hukum perdagangan internasional lahir sebagian besar karena dipengaruhi oleh semakin banyaknya berbagai perjanjian internasional yang ditandatangani baik secara bilateral, regional, maupun multilateral.
Secara khusus tahap ketiga ini muncul secara signifikan setelah berakhirnya Perang Dunia II. Salah satu perjanjian multilateral yang ditandangani pada masa ini adalah disepakati lahirnya GATT tahun 1947. Tahap ketiga ini disebut juga dengan tahap “internationalism”. Schmitthoff menyatakan sebagai berikut:
“We are beginning to rediscover the international character of commercial law and the circle now contemplates itself: the general trend of commercial law everywhere is to move away from the restrictions of national law to a universal, international conception of the law of international trade.”

Sejak berdiri hingga dewasa ini aturan-aturan perdagangan GATT telah berkembang dan mengalami pembangunan yang cukup penting. Bahkan dalam putaran perundingan tahun 1986-1994, negara-negara anggota GATT telah sepakat untuk membentuk suatu badan atau lembaga internasional baru, yaitu WTO.
Perubahan dari GATT ke WTO berdampak luas terhadap bidang

hukum perdagangan internasional. Alasannya, bidang pengaturan
yang tercakup di dalam WTO sekarang ini adalah kompleks. Ia tidak semata-mata lagi mengatur tarif dan barang, tetapi juga mengatur jasa, hak kekayaan intelektual, penanaman modal, lingkungan,
dll.

Ciri kedua dalam perkembangan tahap ketiga ini yakni munculnya organisasi internasional. Salah satu badan yang menonjol adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebetulnya peran PBB di bidang perdagangan internasional tidaklah langsung. Peran PBB di bidang ekonomi dan perdagangan ini termuat dalam pasal 1:3 Piagam PBB, yakni aturan tentang tujuan PBB yakni mencapai kerjasama internasional di dalam antara lain menyelesaikan masalah-masalah ekonomi internasional.
Tujuan-tujuan PBB di atas diupayakan pemenuhannya melalui berbagai langkah berikut:
i. Negara-negara anggota PBB mendirikan the United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) pada tahun 1964. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih besar kepada negara sedang berkembang untuk ikut serta dalam merumuskan kebijakan-kebijakan perdagangan, dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan khusus negara-negara sedang berkembang ini.
ii. negara-negara anggota PBB mengesahkan the Charter of Economic Rights and Duties of States pada tahun 1974 (serta disahkannya the Declaration and Programme of Action on the Establishment of the New International Economic Order). Pembentukan Piagam ini diawali dengan langkah Majelis Umum PBB mengesahkan the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
pada tahun 1966.
Dokumen-dokumen penting ini pada pokoknya mengakui dan memberi perlakuan khusus kepada negara-negara sedang berkembang di bidang perdagangan, keuangan dan penanaman modal.
Ciri ketiga yang juga menonjol adalah disepakatinya pendirian badan-badan ekonomi regional di suatu kawasan region tertentu. Blok perdagangan regional yang mula-mula membawa pengaaruh cukup luas adalah the European Single Market (1992) dan segera diikuti oleh blok perdagangan Amerika Utara (The North American Free Trade Agreeement atau NAFTA) (1994).
Di kawasan Asia Tenggara, negara-negara ASEAN mengikuti langkah serupa dengan membentuk Asean Free Trade Area (AFTA). AFTA berlaku efektif sejak 1 Januari 2003.
Kecenderungan pembentukan kelompok-kelompok regional ini di satu sisi positif. Namun di sisi lain organisasi-organisasi regional tersebut menimbulkan kekhawatiran dari masyarakat internasional karena terdapatnya blok-blok perdagangan tersebut melahirkan peraturan-peraturan regional eksklusif yang ternyata menyimpangi ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam
GATT/WTO.


E. Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional

1. Perlunya Unifikasi dan Harmonisasi Hukum

Di atas dikemukakan bahwa negara-negara mencantumkan atuaran-aturan hukum perdagangan internasional dalam hukum nasionalnya. Aturan-aturan hukum nasional di bidang perdagangan internasional ini karenanya menjadi sumber hukum yang cukup penting dalam hukum perdagangan internasional.
Tetapi adanya berbagai aturan hukum nasional ini sedikit banyak kemungkinan dapat berbeda antara satu sama lainnya. Perbedaan ini kemudian dikhawatirkan akan juga mempengaruhi kelancaran transaksi perdagangan itu sendiri.
Masalah ini sebelumnya sudah cukup lama disadari oleh bangsa-bangsa di dunia, termasuk organisasi dunia PBB. Dalam resolusi Majelis Umum PBB No 2102 (XX), PBB menyatakan bahwa: "Conflicts and divergencies arising from the laws of different states in matters relating to international trade constitute an obstacle to the development of world trade."
Untuk menghadapi masalah ini, sebenarnya ada 3 teknik yang dapat dilakukan. Pertama, negara-negara sepakat untuk tidak menerapkan hukum nasionalnya. Sebaliknya mereka menerapkan hukum perdagangan internasional untuk mengatur hubungan-hubungan hukum perdagangan mereka.
Kedua, apabila aturan hukum perdagangan internasional tidak ada dan atau tidak disepakati oleh salah satu pihak, maka hukum nasional suatu negara tertentu dapat digunakan. Cara penentuan hukum nasional yang akan berlaku dapat digunakan melalui penerapan prinsip choice of laws. Choice of Laws adalah klausul pilihan hukum yang disepakati oleh para pihak yang dituangkan
dalam kontrak (internasional) yang mereka buat.
Ketiga, teknik yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan unifikasi dan harmonisasi hukum aturan-aturan substantif hukum perdagangan internasional. Teknik ketiga ini dipandang cukup efisien. Cara ini memungkinkan terhindarnya konflik di antara sistem-sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara.
Kedua kata ini hampir sama maksudnya, namun ada nuansa atau perbedaan yang perlu untuk dicatat. Kedua kata sama-sama berarti upaya atau proses menyeragamkan substansi pengaturan sistem- sistem hukum yang ada. Penyeragaman tersebut mencakup pengintegrasian sistem hukum yang sebelumnya berbeda.
Perbedaan kedua kata tersebut terletak pada derajat penyeragaman tersebut. Dalam unifikasi hukum, penyeragaman mencakup penghapusan dan penggantian suatu sistem hukum dengan sistem hukum yang baru. Contohnya adalah pemberlakuan Perjanjian TRIPS/WTO.
Dengan diperkenalkannya substansi bidang-bidang perjanjian TRIPS/WTO yang mencakup ketentuan mengenai hak cipta, merek dagang, indikasi geografis, disain industri, paten, dll., meletakkan kewajiban kepada negara anggota untuk membuat aturan- aturan HAKI nasionalnya yang sesuai dengan substansi perjanjian
TRIPS/WTO.
Harmonisasi hukum tidak sedalam unifiksi hukum. Tujuan utama harmonisasi hukum hanya berupaya mencari keseragaman atau titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari berbagai sistem hukum yang ada (yang akan diharmonisasikan).
Untuk dapat melaksanakan unifikasi dan harmonisasi hukum ini karenanya hanya dapat dicapai oleh para ahli hukum yang mendalami atau menguasai perbandingan hukum. Upaya ini dapat dilakukan oleh suatu tim ahli perbandingan hukum yang terdiri dari para ahli hukum yang berlatar belakang sistem hukum yang berbeda-beda yang hendak diupayakan unifikasi dan harmonisasi hukumnya.
Dalam upaya unifikasi dan harmonisasi hukum, masalah esensialnya adalah bagaimana metode yang akan diterapkannya. Dalam kaitan itu, masalah-masalah mengenai perbedaan konsepsi dan perbedaan bahasa yang terdapat dalam berbagai sistem hukum tersebut hanya dapat ditanggulangi dengan cara menerapkan metoda komparatif.
Menurut Schmitthoff, dalam metode komparatif, dikenal 3 metode, yaitu metode dengan memberlakukan:
a. perjanjian/konvensi internasional (international convention);

b. hukum seragam (uniform laws); dan c. aturan seragam (uniform rules).
Ad. a. Perjanjian atau Konvensi Internasional
Penerapan atau pemberlakuan perjanjian atau konvensi internasional adalah cara yang paling banyak digunakan dalam
mencapai unifikasi hukum. Cara ini dipandang tepat untuk memperkenalkan suatu ketentuan hukum yang bersifat memaksa ke dalam sistem hukum nasional. Pemberlakuan perjanjian TRIPS/WTO di atas merupakan salah satu contoh.
Gambaran lainnya adalah CISG 1980 atau Konvensi mengenai Kontrak Jual Beli Barang Internasional. Konvensi ini dapat dipandang sebagai upaya mengunifikasi hukum kontrak jual beli barang internasional. Para perancang konvensi ini telah berupaya mengkawinkan prinsip-prinsip kontrak yang dikenal dalam sistem hukum Civil Law dan sistem hukum Common Law.
Salah satu pembatasan cara ini adalah adanya kehendak dari sesuatu negara untuk mengikatkan diri atau meratifikasi perjanjian atau konvensi internasional tersebut. Dalam kenyataannya, untuk mencapai kehendak tersebut banyak bergantung pada faktor ekonomi, politis, juridis, dll.

b. Hukum seragam (Uniform Laws)

Hukum seragam tidak lain adalah model-model hukum yang dapat kita lihat misalnya dalam model hukum arbitrase UNCITRAL
1985 (Model Law on International Commercial Arbitration). Model hukum ini memberikan keleluasaan kepada negara-negara yang hendak menerapkannya ke dalam hukum nasionalnya.
Keleluasaan tersebut mencakup keleluasaan kepada negara yang bersangkutan apakah akan menerapkan secara penuh aturan- aturan substantif Model Law. Kemungkinan lain, negara tersebut memutuskan untuk menerapkannya dengan melakukan beberapa revisi atau menerapkan beberapa pengecualian terhadap aturan-aturan di dalamnya.
Sifat hukum seragam tidak mengikat. Ia hanya bersifat persuasif. Karena itu derajat pengadopsian atau penerapannya
sangat bergantung kepada masing-masing negara. Model hukum ini
karena itu berbeda dengan perjanjian atau konvensi internasional. Pada saat suatu negara turut serta, aksesi atau meratifikasi suatu perjanjian atau konvensi internasional, maka pada prinsipnya seluruh aturan perjanjian mengikat negara tersebut.

c. Aturan Seragam (Uniform Rules)

Aturan-aturan seragam lebih rendah tingkatannya daripada hukum seragam (Uniform Laws). Bentuk aturan seragam tampak antara lain dalam modal-model kontrak standar atau kontrak baku. Contoh bentuk aturan seperti ini adalah the Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (1974) yang dikeluarkan oleh ICC. Aturan hukum ini telah diterapkan dan dipraktekkan oleh para subyek hukum perdagangan internasional di dunia.
Bentuk lainnya adalah klausul standar (baku) yang dicantumkan oleh para pihak dalam kontrak-kontrak yang mereka buat. Tidak jarang pula lembaga-lembaga atau asosiasi-asosiasi memperkenalkan klausul-klausul yang perlu dicantumkan dalam suatu kontrak apabila para pihak hendak memanfaatkan fasilitas lembaga atau asosiasi yang bersangkutan.
Hal ini antara lain banyak ditemui dalam klausul-klausul arbitrase baik nasional maupun asing. Klausul-kluasul standar arbitrase tersebut dimaksudkan agar para pihak tidak perlu lagi merancang klausul choice of forum-nya, dalam hal ini arbitrase.
Bagaimana unifikasi dan harmonisasi dapat bekerja, agak sulit untuk dipaparkan di sini. Namun demikian, Katerina Pistor, guru besar di Columbia Law School, mengemukakan istilah yang dinamakannya standardization of law (standardisasi hukum).
Maksud standardisasi di sini mengacu kepada suatu tahap dari kekhususan dari suatu hukum (the level of specificity of
law). Standar hanya mencakup prinsip-prinsip hukum (legal
principles), bukan atau tidak aturan-aturan hukumnya (legal rules).
Upaya unifikasi dan harmonisasi hukum ini telah cukup serius dilakukan khususnya oleh the World Trade Organization (WTO), the International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT), The Hague Conference of Private International Law dan PBB khususnya the United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) dan the United Nations Conference on International Trade and Law (UNCTAD).
Di samping itu terdapat pula lembaga-lembaga internasional non-pemerintah yang juga berkepentingan dengan upaya unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional, yakni, antara lain, International Chamber of Commerce (ICC atau Kamar Dagang Internasional), dan International Law Association (ILA atau Asosiasi Hukum Internasional).
2. Lembaga-lembaga yang Bergerak dalam Unfikasi dan Harmoniasi

Hukum

Berikut adalah uraian secara ringkas beserta upaya badan- badan atau organisasi-organisasi internasional tersebut di bidang unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional. Tidak semua upaya badan atau organisasi internasional akan diuraikan.
Pembahasan dibatasi pada WTO, UNCITRAL, UNIDROIT dan ICC.
a. World Trade Organization (WTO)

1. Pengantar

World Trade Organization atau WTO dihasilkan dari Putaran Uruguay GATT (1986-1993). Organisasi ini memiliki kedudukan yang unik karena ia berdiri sendiri dan terlepas dari badan kekhususan
PBB.

Pembentukan WTO ini merupakan realisasi dari cita-cita lama negara-negara pada waktu merundingkan GATT pertama kali (1948). Yakni hendak mendirikan suatu organisasi perdagangan internasional (yang dulu namanya adalah International Trade Organization atau
ITO).

Struktur WTO akan dikepalai oleh suatu badan tertinggi yang disebut Konperensi Tingkat Menteri (Ministerial Conference). Badan ini akan bersidang sedikitnya sekali dalam dua tahun. Badan ini terdiri dari para perwakilan dari semua anggota WTO. Semua keputusan mengenai kebijakan yang berkaitan dengan perdagangan multilateral dilakukan melalui badan ini.
Untuk pelaksanaan pekerjaannya sehari-hari, badan tertinggi ini dibantu oleh badan-badan kelengkapan utama, yaitu Dewan Umum (General Council) yang terdiri dari semua anggota WTO. Badan ini bertugas memberikan laporan mengenai kegiatan-kegiatannya kepada the Ministerial Conference.
General Council memiliki dua fungsi lainnya. Pertama, sebagai suatu Badan Penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Body). Fungsi kedua, sebagai badan peninjau kebijakan perdagangan negara- negara anggota GATT (Trade Policy Review Body).
Selain itu, badan ini juga bertugas mengamati masalah-masalah perdagangan yang akan dicakup oleh WTO. Ia akan menetapkan tiga badan subsider yakni The Council for Trade in Goods, Council for Trade in Services, dan Council for TRIPs.
The Council for Trade in Goods mengawasi pelaksanaan dan berfungsinya semua perjanjian mengenai perdagangan barang (Annex
erjanjian WTO) meskipun se1A P betulnya untuk perjanjian-pejanjian

tertentu umumnya mereka memiliki badan pengawasnya sendiri. Dua dewan lainnya memiliki tanggung jawabnya masing-masing berkaitan dengan perjanjian WTO dan badan-badan tersebut dapat mendirikan badan-badan subsider lainnya manakala dipandang perlu.
Tiga badan lainnya didirikan oleh the Ministerial Conference dan mereka melaporkan pekerjaannya kepada the General Council. Ketiga badan tersebut adalah the Committee on Trade and Development, yakni badan yang bertanggung jawab untuk masalah- masalah yang terdapat di negara-negara sedang berkembang. Kedua, the Committee on Balance of Payments bertanggung jawab untuk menyelenggarakan konsultasi di antara negara-negara anggota WTO dan negara-negara yang melaksanakan tindakan-tindakan restriktif perdagangan (Pasal XII dan XVII GATT), yakni tindakan- tindakan untuk menghadapi kesulitan-kesulitan neraca pembayarannya.
Ketiga, the Committee on Budget, Finance and Administration

bergerak dalam mengatur masalah-masalah keuangan dan anggaran

WTO.

Di samping badan-badan tersebut, WTO membentuk pula badan- badan khusus yang mengawasi pelaksanaan perjanjian-perjanjian plurilateral (yang sifatnya sukarela), yakni badan untuk perdagangan pesawat udara sipil, badan untuk pengadaan barang pemerintah (government procurement), badan untuk produk susu dan daging (dairy products and bovine meat). Badan-badan khusus ini melaporkan tugas-tugasnya kepada the General Council.
Sekretariat WTO berkedudukan di Jenewa, Swiss. Sampai tulisan ini dibuat, Sekretariat WTO memiliki sekitar 450 staf dan diketuai oleh seorang Direktur Jenderal (Diretor General) dan 4 orang pembantu Direktur Jenderal.
Dalam membuat putusan, WTO melanjutkan praktek yang telah lama dilakukan dalam GATT, yaitu melalui konsensus. Namun dalam hal konsensus ini gagal, maka putusan akan diambil melalui
pemungutan suara atau voting.

Di samping itu, ada 4 hal atau situasi dalam perjanjian WTO yang memungkinkan dilakukannya voting. Pertama, mayoritas 2/3 dari anggota WTO diperlukan untuk mengesahkan suatu penafsiran perjanjian perdagangan multilateral.
Kedua, mayoritas 2/3 dari anggota WTO diperlukan bagi the Ministerial Conference untuk memutuskan penanggalan suatu kewajiban yang dikenakan terhadap suatu negara oleh suatu perjanjian multilateral.
Ketiga, keputusan untuk merubah ketentuan perjanjian multilateral dapat disahkan melalui kesepakatan seluruh anggotanya atau melalui mayoritas 2/3 dari anggota WTO. Perubahan-perubahan demikian hanyalah berlaku bagi negara-negara yang menerimanya
saja.

Keempat, suatu mayoritas 2/3 dari negara anggota WTO diperlukan untuk menerima masuknya suatu negara menjadi anggota WTO.

2. Kebijakan Unifikasi dan Harmonisasi WTO

WTO adalah salah satu contoh yang telah di sebut di atas, di mana unifikasi aturan-aturan atau hukum perdagangan internasional diterapkan terhadap negara-negara anggotanya. Pasal XVI Perjanjian Pembentukan WTO menyatakan: "Each member shall ensure the conformity of its laws, regulations and administrative procedures with its obligations as provided in the annexed Agreements." (Pasal XVI ayat 4 Agreement Establishing the World Trade Organization).
Ketentuan pasal tersebut menjadi indikator penting bagaimana WTO mewajibkan negara-negara anggotanya untuk menyesuaikan aturan-aturan atau hukum perdagangannya dengan aturan-aturan yang termuat dalam Annex perjanjian WTO. Bahkan ketentuan pasal XVI tersebut juga mewajibkan negara anggotanya untuk menyesuaikan administrative procedures-nya (birokrasi)
sesuai dengan administrative procedure-nya WTO.

3. Perjanjian-perjanjian di Bawah Piagam WTO

Perjanjian-perjanjian yang termuat dalam lampiran (Annex) WTO adalah perjanjian dalam TRIPS (telah diuraikan secara singkat di atas). Perjanjian-perjanjian lainnya adalah:
GATT 1994; Agreement on Agriculture; Sanitary and Phytosanitary Measures; Textiles and Clothing; Technical Barriers to Trade; Trade-Related Investment Measures (TRIMs); Anti-dumping (Article VI of GATT 1994); Customs valuation (Article VII of GATT 1994); Preshipment Inspection; Rules of Origin; Import Licensing; Subsidies and Countervailing Measures; Safeguards; General Agreement on Trade in Services (GATS); Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS); Dispute Settlement Understanding.
Sebenarnya di samping unifikasi hukum, WTO juga berupaya mendorong harmonisasi hukum, termasuk harmonisasi standar-standar teknis-nya. Upaya harmonisasi ini telah lama diupayakan GATT (pendahulu WTO). Pada tahun 1979, GATT berhasil mengeluarkan The GATT Code on Technical Standards (Standard Code).
Aturan Standard Code ini mendorong negara-negara anggotanya untuk mengharmonisasikan standar-standar produk domestiknya. Upaya ini ditempuh agar kebijakan negara-negara mengenai standar produk tidak malah menjadi penghalang bagi perdagangan dunia.
Perjanjian lainnya yang dapat digolongkan ke dalam harmonisasi hukum adalah perjanjian-perjanjian yang berada di bawah 'Plurilateral Agreement'(Annex 4 Perjanjian WTO). Perjanjian-perjanjian ini adalah: Agreement on Trade in Civil Aircraft (Annex 4 (a)); Agreement on Government Procurement (Annex 4 (b)); International Dairy Agreement (Annex 4 (c));
International Bovine Meat Agreement (Annex 4 (d)).

b. The International Institute for the Unification of Private Law

(UNIDROIT).

1. Pengantar

The International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT) adalah sebuah organisasi antar pemerintah yang sifatnya independen. UNCITRAL dibentuk pada tahun 1926 sebagai suatu badan pelengkap Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Sewaktu LBB bubar, UNIDROIT dibentuk kembali pada tahun 1940 berdasarkan suatu perjanjian multilateral yakni Statuta UNIDROIT (the UNIDROIT Statute). UNIDROIT berkedudukan di kota Roma.
Tujuan utama pembentukannya adalah melakukan kajian untuk memodernisasi, mengharmonisasi dan mengkoordinasikan hukum privat, khususnya hukum komersial (dagang) di antara negara atau di antara sekelompok negara.
Keanggotaan UNIDROIT terbatas hanya untuk negara-negara yang menundukkan dirinya kepada Statuta UNIDROIT. Negara-negara ini berasal dari 5 benua dan mewakili berbagai sistem hukum, ekonomi, politik dan budaya yang berbeda.
Dewasa ini UNIDROIT memiliki 59 negara anggota, yakni: Argentina, Australia, Austria, Belanda, Belgium, Bolivia, Brazil, Bulgaria, Canada, Chile, China, Colombia, Croatia, Cuba, Cyprus, Republik Czech, Denmark, Mesir, Estonia, Federasi Rusia Finlandia, Perancis, Jerman, Holy See (Tahta Suci), Hungaria, India, Iran, Iraq, Ireland, Israel, Italy, Japan, Luxembourg, Malta, Mexico, Nikaragua, Nigeria, Norwegia, Pakistan, Paraguay, Poland, Portugal, Republik Korea, Romania, San Marino, Slovakia, Slovenia, Africa Selatan, Spanyol, Swedia, Swiss, Tunisia, Turki, Inggris, Amerika Serikat, Uruguay, Venezuela, Yugoslavia (Federal Republic of), Yunani.
2. Kebijakan Harmonisasi dan Unifikasi UNIDROIT

Tujuan utama UNIDROIT sebenarnya adalah mempersiapkan harmonisasi aturan-aturan hukum privat. Upaya ini dipandang penting mengingat perkembangan teknologi baru, praktek-praktek

pedagangan, dll memerlukan aturan hukum yang baru. Biasanya aturan-aturan baru tersebut juga dibuat oleh negara-negara. Masalahnya adalah peraturan tersebut bisa saja berbeda antara satu aturan hukum dengan aturan hukum lainnya. Karen itu aturan tersebut perlu diharmonisasi, atau bahkan diunifikasi guna memperlancar perdagangan internasional.
Masalahnya adalah harmonisasi atau unifikasi hukum tersebut banyak bergantung kepada keinginan dan kerelaan negara-negara untuk mau menerimanya.
Meskipun menyadari adanya kesulitan upaya tersebut, UNIDROIT memiliki kedudukannya yang menguntungkan sebagai organsiasi antar pemerintah. Dalam kaitan ini, UNDIROIT menerapkan pemberlakuan konvensi atau perjanjian internasional yang mensyaratkan penerimaan dari negara-negara anggotanya. Tujuannya adalah menerapkan aturan-aturan konvensi tersebut ke dalam sistem hukum negara-negara anggota yang menundukkan dirinya kepada konvensi tersebut.
Penerimaan suatu aturan konvensi oleh negara akan jauh lebih memudahkan pemberlakuan aturan-aturan konvensi tersebut ke dalam wilayah negara anggotanya (termasuk kepada warga negara atau subyek-subyek hukum di wilayah negara tersebut).

3. Konvensi atau Perjanjian Yang Dihasilkan UNIDROIT

Selama berdiri UNIDROIT telah melakukan lebih dari 70 kajian. Kajian-kajian ini ada yang telah menghasilkan berbagai
perjanjian atau konvensi internasional berikut:

(1) Convention relating to a Uniform Law

Contracts for the International Sale

1964); on of the Formation of

Goods (The Hague
(2) Convention relating to a Uniform Law

Sale of Goods (The Hague, 1964); on the International

(3) International Convention on the Travel Contract (Brussels,

1970);

(4) Convention providing a Uniform Law on the Form of an

International Will (Washington, 1973);

(5) Convention on Agency in the International Sale of Goods

(Geneva, 1983);

(6) UNIDROIT Convention on International Financial Leasing

(Ottawa, 1988);

(7) UNIDROIT Convention on International Factoring (Ottawa,

1988);

(8) UNIDROIT Convention on Stolen or Illegally Exported Cultural

Objects (Rome, 1995);

(9) Convention on International Interests in Mobile Equipment

(Cape Town, 2001);

(10) Protocol to the Convention on International Interests in Mobile Equipment on Matters specific to Aircraft Equipment (Cape Town, 2001).

c. The United Nations Commission on International Trade Law

(UNCITRAL)

1. Pengantar

1. The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) adalah badan kelengkapan khusus dari Majelis Umum PBB. Badan ini dibentuk pada tahun 1966. Pembentukannya didasarkan pada Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2205 (XXI) tanggal 17
Desember 1966.

Tugas utamanya adalah mengurangi perbedaan-perbedaan hukum di antara negara-negara anggota yang dapat menjadi rintangan bagi perdagangan internasional. Untuk melaksanakan tugas tersebut UNCITRAL berupaya memajukan perkembangan harmonisasi dan unifikasi hukum perdagangan internasional secara progresif (the progressive harmonization and unification of the law of international trade).
Sejak berdiri UNCITRAL telah mempersiapkan berbagai Konvensi, Model Hukum dan instrumen hukum lainnya yang mengatur transaksi perdagangan atau aspek-aspek hukum bisnis lainnya yang memiliki pengaruh terhadap perdagangan internasional.

2. Kebijakan Harmonisasi dan Unifikasi UNCITRAL

Dua kata harmonisasi dan unifikasi di atas memiliki pengertian tersendiri bagi UNICTRAL. UNCITRAL beranggapan mandat "Harmonization" dan "unification" hukum perdagangan internasional ini dimaksudkan agar perdagangan internasional dapat berlangsung secara lancar. Hal ini penting mengingat perdagangan internasional acapkali terhalang atau tidak lancar karena faktor-faktor seperti tidak adanya kepastian hukum (lack of a predictable governing law), hukum yang ada sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan jaman.
Karena itu upaya badan ini tidak lain adalah berupaya membuat produk atau instrumen hukum yang modern yang dapat memberi kebutuhan hukum untuk memperlancar perdagangan internasional dan perkembangan ekonomi dunia.
UNCITRAL merancang dan mengesahkan setiap instrumen hukum. Dalam upaya ini, tidak semua negara anggota UNCITRAL turut serta. Hanya negara-negara tertentu saja yang merupakan wakil dari region-regiona di dunia.
Pihak lain yang juga dapat turut serta dalam proses perancangan tersebut adalah LSM internasional atau organisasi- organisasi antar pemerintah yang berminat. Keputusan untuk mengesahkan instrumen hukum dilakukan secara konsensus.
Instrumen hukum yang dirancang UNCITRAL bisa berupa

legislative texts umumnya berupa Konvensi. Legislative texts
misalnya saja: United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods; Convention on the Limitation Period in the International Sale of Goods; United Nations Convention on Independent Guarantees and Stand-by Letters of Credit; United Nations Convention on International Bills of Exchange and International Promissory Notes; United Nations Convention on the Carriage of Goods by Sea, 1978 (Hamburg); United Nations Convention on the Liability of Operators of Transport Terminals in International Trade; and the United Nations Convention on the Assignment of Receivables in International Trade.
Sedangkan instrumen hukum lainnya berupa legislative guides dan non-legislative guides. Legislative guides misalnya adalah instrumen-instrumen hukum berupa model law dan rules. Instrumen ini merupakan instrumen yang tidak mengikat negara anggota. Negara anggota bebas untuk mengikui atau tidak mengikuti legislative guides tersebut.
Non-legislative texts adalah instrumen hukum lainnya yang sifatnya juga tidak mengikat. Contoh instrumen hukum seperti ini misalnya saja: UNCITRAL Arbitration Rules; UNCITRAL Conciliation Rules; UNCITRAL Notes on Organizing Arbitral Proceedings; UNCITRAL Legal Guide on Drawing Up International Contracts for the Construction of Industrial Works; and UNCITRAL Legal Guide on
International Countertrade Transactions.

d. Kamar Dagang Internasional (ICC)

1. Pengantar

The International Chamber of Commerce (ICC) didirikan pada tahun 1919. Badan ini berkedudukan di Paris. Tujuannya pada waktu itu, dan sampai sekarang masih terus berlaku, adalah melayani dunia usaha dengan memajukan perdagangan, penanaman modal, membuka pasar untuk barang dan jasa, serta memajukan aliran modal (to serve world business by promoting trade and investment, open markets for goods and services, and the free flow of capital).
Selama ini ICC dipandang sebagai corongnya dunia usaha (pengusaha) untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan kemakmuran. Peran ini sangat penting dalam kaitannya dengan keadaan dunia saat ini. Negara-negara di dunia kerap membuat kebijakan atau keputusan-keputusan yang dapat mempengaruhi perdagangan. Karena itulah, peran atau adanya suatu badan dunia yang menyuarakan para pedagang yang terkena oleh kebijakan atau keputusan (suatu) negara menjadi sangat penting. Untuk itu, ICC memiliki akses langsung kepada pemerintah negara-negara di dunia melalui national committee ICC (KADIN Nasional) yang terdapat hampir di setiap negara di dunia.
Peran penting lain ICC adalah sebagai badan dalam membuat kebijakan-kebijakan atau aturan-aturan yang dapat memfasilitasi perdagangan internasional. Peran lain yang juga cukup penting adalah:
(1) sebagai forum penyelesaian sengketa khususnya melalui

arbitrase;
(2) sebagai forum untuk menyebarluaskan informasi dan kebijakan serta aturan-aturan hukum dagang internasional di antara pengusaha-pengusaha di dunia; dan
(3) memberikan pelatihan-pelatihan dan teknik-teknik dalam

merancang kontrak serta keahlian-keahlian praktis lainnya dalam perdagangan internasional.

2. Kebijakan Harmonisasi Hukum ICC

ICC tidak berupaya menciptakan unifikasi hukum. Kebijakan yang ditempuhnya adalah memberikan aturan-aturan dan standar- standar (Rules and Standards) di bidang hukum perdagangan internasional. Kedua bentuk aturan ini sifatnya tidak mengikat.
Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari pendirian ICC bahwa dunia usaha sebaiknya tidak atau dipengaruhi sedikit mungkin oleh campur tangan penguasa (pemerintah). ICC karenanya tidak mau menjadi penguasa seperti itu. Ia berpendirian, biarlah dunia usaha saja yang mengatur atau membuat aturan bagi mereka sendiri. Dana turan-aturan yang sifatnya atau yang datang dari luar, termasuk aturan-aturan yang dibuat ICC, haruslah bersfiat sukarelah saja.
Namun demikian aturan-aturan ICC (termasuk standar-standar ICC) ini memiliki pengaruh yang cukup tinggi. Bahkan beberapa aturan (Rules)-nya telah diikuti dengan sukarela dan seksama oleh para pelaku dagang, seperti misalnya perbankan. Bahkan standar- standar yang dikeluarkan oleh ICC telah banyak dimasukkan ke dalam kontrak-kontrak dagang yang dibuat oleh para pelaku bisnis.


3. Aturan-aturan dan Standar yang Dikeluarkan ICC

Dewasa ini ICC memiliki 16 Komisi para ahli yang berasal dari sektor swasta. Para ahli ini terdiri berbagai bidang keahlian di bidang bisnis internasional. Keahlian bidang mereka antara lain mencakup teknis-teknis perbankan (jasa keuangan), perpajakan, hukum persaingan, telekomunikasi, HAKI, teknologi informasi, pengangkutan (udara dan laut), penanaman modal dan kebijakan perdagangan.

Para ahli dalam komisi-komisi tersebut berperan cukup penting dalam merumuskan kebijakan, aturan-aturan dan standar- standar yang digunakan atau diterapkan terhadap perdagangan internasional, termasuk kontrak internasional, meskipun sifatnya tidak mengikat.
Maksud utama dengan adanya aturan-aturan tersebut adalah untuk mempermudah perusahaan-perusahaan atau para pedagang di seluruh dunia untuk bertransaksi dagang. Selain itu yang juga penting adalah untuk mempermudah mereka membuat kontrak-kontrak dagang.
Selama ini, aturan-aturan yang sifatnya tidak mengikat atau sukarelah tersebut adalah:
(1) ICC International Code on Sponsorship (September 2030);

(2) Compendium of ICC Rules on Children and Young People and
Marketing (April 2003);

(3) Rules for Expertise (Januari 2003);

(4) Paction - the online model sales contract application
Create, negotiate and sign your model contracts online, 2002 (5) ICC DOCDEX Rules (Oktober 1997 dan Maret 2002);
(6) ICC International Code of Sales Promotion (Mei 2002);

(7) GUIDEC II: General Usage for International Digitally Ensured
Commerce (Oktober 2001); dan GUIDEC I (6 November 1997);

(8) Compendium of Rules for Users of the Telephone in Sales, Marketing and Research (Juni 2001);

(9) ICC International Code of Direct Marketing (September 1998 dan Juni 2001);

(10) ICC International Code of Direct Selling (Juni 1999);
(11) ICC Rules of Conduct to Combat Extortion and Bribery (1999); (12) ICC Recommended Code of Practice for Competition Authorities
on Searches and Subpoenas of Computer Records (16 Oktober
1998);

(13) Model Clauses for use in Contracts involving Transborder Data
Flows (23 September 1998);

(14) ICC Guidelines on Advertising and Marketing on the Internet
(April 1998);

(15) The Rules of Arbitration of the ICC (1 Januari 1998);
(16) ICC International Code of Advertising Practice (April 1997); (17) ICC International Customs Guidelines (10 Juli 1997);
(18) The Business Charter for Sustainable Development (1996); (19) Rules for Pre-arbitral referee, (1 Januari 1990);
(20) The Uniform Customs and Practice for Documentary Credits
(UCP) 1933 dan 1994.

(21) The International Commercial Terms (Incoterms) (1936, 2000).

Dua produk hukum ICC yang disebut terakhir, yaitu UCP dan Incoterms perlu mendapat sedikit catatan. UCP mengalami beberapa kali revisi. Revisi terakhir adalah UCP 500, yang mulai berlaku Januari 1994. UCP telah digunakan oleh bank di seluruh dunia. Suatu tambahan terhadap UCP 500, yaitu the eUCP, ditambahkan pada tahun 2002. eUCP mengatur penampilan semua atau sebagian doumen elektronik.
Incoterms dibentuk untuk memberikan definisi baku secara universal mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam transaksi perdagangan internasional, seperti misalnya Ex quay, CIF dan FOB. Seperti halnya UCP, Incoterms telah mengalami beberapa revisi. Revisi terakhir dilakukan pada tahun 2000 (Incoterms 2000), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2000.
Schmitthoff memuji peran badan ini dalam upayanya merumuskan unifikasi hukum perdagangan internasional dengan menyatakan bahwa “(ICC) contribution to the unification of international trade law has been singular successful.”
Sebagai catatan akhir dari bagian ini, penting pula mengutip nasihat Schmitthoff. Beliau melihat keberadaan lembaga- lembaga internaisonal yang berupaya mengunifikasi aturan-aturan perdagangan internasional ini adalah positif. Namun beliau mengingatkan agar lembaga-lembaga ini harus saling kerjasama agar
upaya unifikasi efektif.

F. Penutup
Dari uraian di atas tampak

internasional adalah bidang hukum bahwa hukum

yang sangat perdagangan

luas ruang
lingkupnya. Hal ini sudah barang tentu merupakan tantangan bagi para mahasiswa dan sarjana hukum untuk mendalami bidang ini.
Dari perkembangannya, tersirat pula pertumbuhan bidang hukum ini yang sudah ada sejak manusia mulai merasakan kekurangannya dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Untuk itu manusia mulai berdagang. Metode transaksi awalnya sangatlah sederhana: barter atau tukar menukar. Dalam perkembangannya, orang sudah transaksi dengan menerapkan teknologi canggih: perdagangan dengan sarana telekomunikasi.
Canggihnya transaksi perdagangan merupakan tantangan bagi hukum perdagangan internasional. Bidang hukum ini ditantang untuk mengakomodasi perkembangan cepat ini melalui aturan-aturan hukumnya. Adanya aturan-aturan ini sangat dibutuhkan bagi pelaku perdagangan untuk adanya kepastian hukum, sekaligus mendapatkan perlindungan hukumnya.
Upaya hukum nasional sudah barang tentu sangat terbatas kewenangan hukumnya untuk mengatur transaksi-tansaksi lintas batas atau internasional. Peran hukum nasional hanya mencakup aturan-aturan yang mengikat bagi kegiatan dan transaksi dagang dalam wilayahnya.
Karena itu, upaya-upaya pengaturan perdagangan internasional sedikit banyak bergantung pada peran organisasi internasional baik yang sifatnya antar negara, misalnya WTO, maupun yang sifatnya privat, misalnya Kamar Dagang Internasional (International Chamber of Commerce).
Upaya organisasi internasional pun hingga dewasa ini lebih banyak pada upaya harmonisasi hukum daripada upaya unifikasi hukum. Upaya ini tampaknya wajar dilakukan mengingat perkembangan hukum perdagangan internasional yang cukup progresif. Upaya mengkristalisasi aturan hukum perdagangan internasional dalam

suatu dokumen perjanjian internasional yang sifatnya stabil dan berlaku lama tampaknya sangat sulit.
Tujuan akhir dari hukum perdagangan internasional sebenarnya adalah tujuan dari eksistensi hukum perdagangan internasional itu sendiri. Di bagian awal Bab ini (yaitu bagian B. Eksistensi dan Tujuan Hukum Perdagangan Internasional), terungkap beberapa tujuan bidang hukum perdagangan internasional ini yang terdengar sangat positif, yaitu antara lain, mensejahterakan negara-negara (dan warga negaranya).
Satu hal yang perlu digaris bawahi di sini adalah bahwa untuk mencapai tujuan positif tersebut mau tidak mau harus dibarengi dengan pemahaman terhadap hukum perdagangan itu sendiri. Artinya, masyarakat atau negara yang tidak mengetahui aturan-aturan hukum perdagangan internasional janganlah berharap dapat mengambil manfaat dari hukum perdagangan internasional.



DAFTAR PUSTAKA

Ademuni-Odeke, The Law of International Trade, London: Blackstone,
1999.
August, Ray, Internatoinal Business Law: Text, Cases and Readings, New
Jersey: Prentice Hall, 3rd.ed., 2000.
Chia-Jui Cheng (ed.), Clive M. Schmitthoff's Select Essay on International Trade Law, Doredrecht/Boston/London: Martinus Nijhoff & Graham & Trotman, 1988.
David, Rene, Arbitration in International Trade, The Hague: Kluwer,
1985.
Goldštajn, Aleksander, “The New Law of Merchant,” (1961) JBL 12.
Hermann, Gerold, “United Nations Commission on International Trade Law,” dalam: R. Bernhardt (ed.), Encyclopedia of Public International Law: Instalment 5, 1983.
Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajagrafindo, cet. 3, 2003.
Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3, 2002.
Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/
definitions.htm).
Islam, Rafiqul M., International Trade Law, NSW: LBC, 1999.
Lew and Stanbrook, Interational Trade: Law and Practice, Bath: Euromoney, 1983.
PH.O.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa, Ujung
Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1977.
Reuvid, Jonathan (ed.), The Strategic Guide to International Trade, London: Kogan Page, 1997.
Sanson, Michelle, Essential International Trade Law, Sydney: Cavendish,
2002.
Schmitthoff, Clive M., ‘The Unification of the Law of Internatioal
Trade,’ (1968) JBL 106.
Schmitthoff, Clive M., Commercial Law in a Changing Economic Climate, London: Sweet and Maxwell, 1981.
Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1977.
Pistor, Katerina, "The Standardization of Law and Its Effect on
Developing Countries," 50 Am.J.Comp.L. 97 (2002).
Trebilcock, Michael and Robert Howse, The Regulation of International
Trade, London: Routledge, 1995.
United Nations, Progressive Development of the Law of International Trade: Report of the Secretary-General of the United Nations, New York: United Nations, 1966.
Vilanueva, Pablo, "Patterns and Trends in World Trade," dalam: Jonathan Reuvid (ed.), The Strategic Guide to International Trade, Kogan page (tt),.
WTO, Trading into the Future,.Geneva, 1995.

0 Responses to “PENGANTAR HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL”

Posting Komentar

All Rights Reserved RoniQueeNet | Blogger Template by Bloggermint