Selasa, 08 Mei 2012

SUBYEK HUKUM DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

A. Pengantar
Dalam aktivitas perdagangan internasional terdapat beberapa subyek hukum yang berperan penting di dalam perkembangan hukum perdagangan internasional. Maksud subyek hukum di sini adalah:

(1) para pelaku (stake holders) dalam perdagangan internasional yang mampu mempertahankan hak dan kewajibannya di hadapan badan peradilan; dan

(2) para pelaku (stake holders) dalam perdagangan internasional yang mampu dan berwenang untuk merumuskan aturan-aturan hukum di bidang hukum perdagangan internasional.

Dari batasan tersebut sebagai tolok ukur, maka subyek hukum yang dapat tergolong ke dalam lingkup hukum perdagangan internasional adalah negara, organisasi internasional, individu, dan bank. Uraian berikut akan menganalisa lebih lanjut tiga subyek hukum ini.


B. Negara

1. Peran Negara

Negara merupakan subyek hukum terpenting di dalam hukum perdagangan internasional. Sudah dikenal umum bahwa negara adalah subyek hukum yang paling sempurna. Pertama, ia satu-satunya subyek hukum yang memiliki kedaulatan.

Berdasarkan kedaulatan ini, negara memiliki wewenang untuk menentukan dan mengatur segala sesuatu yang masuk dan keluar dari wilayahnya. Booysen menggambarkan kedaulatan negara ini sebagai
berikut:

“... a state can absolutely determine whether anything from outside the state. The state would also have the power to determine the conditions on which the goods may be imported into the state or exported to another country. ... Every state would have the power to regulate arbitrarily the conditions of trade.”

Dengan atribut kedaulatannya ini, negara antara lain berwenang membuat hukum (regulator) yang mengikat segala subyek hukum lainnya (yaitu individu, perusahaan), mengikat benda dan peristiwa hukum yang terjadi di dalam wilayahnya, termasuk
perdagangan, di wilayahnya.

Kedua, negara juga berperan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembentukan organisasi-organisasi (perdagangan) internasional di dunia, misalnya WTO, UNCTAD, UNCITRAL, dll. Organisasi-organisasi internasional di bidang perdagangan internasional inilah yang kemudian berperan dalam membentuk aturan-aturan hukum perdagangan internasional.

Ketiga, peran penting negara lainnya adalah negara juga bersama-sama dengan negara lain mengadakan perjanjian internasional guna mengatur transaksi perdagangan di antara mereka. Contoh perjanjian seperti ini adalah perjanjian Friendship, Commerce and Navigation, perjanjian penanaman modal
bilateral, perjanjian penghindaran pajak berganda, dll.

Keempat, negara berperan juga sebagai subyek hukum dalam posisinya sebagai pedagang. Dalam posisinya ini, negara adalah salah satu pelaku utama dalam perdagangan internasional. Dalam awal tulisan ini, negara dengan perusahaan negaranya mengadakan transaksi dagang dengan negara lainnya. Negara memiliki sumber daya alam, perkebunan, pertambangan, dll. Bahan-bahan alam ini
disamping dikelola untuk kebutuhan di dalam negeri juga
diperdagangkan (dijual) ke subyek hukum lainnya yang
memerlukannya.

Dalam melaksanakan


fungsinya ini, tidak


jarang negara
membuat badan-badan hukum milik negara. Di tanah air misalnya, untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi dan memasarkan hasil pertambangan minyak, negara mendirikan Pertamina. Untuk mengelola sumber daya air untuk kepentingan rakyat negara mendirikan perusahaan air minum, dst.

Sebagai suatu institusi yang besar, negara membutuhkan teknologi, infrastruktur, kendaraan, pesawat kenegaraan, sumber- sumber kebutuhan yang dibutuhkan rakyatnya (pengadaan barang dan jasa atau procurement). Untuk memenuhi semua ini, negara membelinya dari para pihak yang menyediakannya (penjual atau supplier). Dengan demikian, negara dapat bertindak sebagai pelaku dalam transaksi perdagangan.
Semua transaksi perdagangan tersebut tunduk pada aturan- aturan hukum yang bentuk dan muatan pengaturannya bergantung pada jenis transaksi. Manakala negara bertransaksi dagang dengan negara lain, kemungkinan hukum yang akan mengaturnya adalah hukum internasional. Manakala negara bertransaksi dengan subyek hukum lainnya, maka hukum yang mengaturnya adalah hukum nasional (dari
salah satu pihak).


2. Imunitas Negara

Salah satu masalah yang kerap timbul dalam kaitannya dengan negara adalah atribut kedaulatan negara itu sendiri. Prinsip umum yang diakui adalah bahwa dengan atribut kedaulatan, negara memiliki imunitas terhadap pengadilan negara lain.

Arti imunitas di sini adalah bahwa negara tersebut memiliki hak untuk mengklaim kekebalannya terhadap tuntutan (klaim) terhadap dirinya. Sheldrick dengan tepat menggambarkan imunitas negara ini sebagai berikut:

“Sovereign immunity is a long-established precept of public international law which requires that a foreign government or head of state cannot be sued without its consent. In its traditional form, this rule applied to all types of suit, criminal and civil, including those arising out of purely commercial transactions undertaken by the foreign sovereign.”

Dalam perkembangannya, konsep imunitas ini mengalami pembatasan. Minimal ada 4 pembatasan terhadap muatan imunitas suatu negara ini.

Pertama, pembatasan oleh hukum internasional. Dalam bertransaksi dagang, hukum internasional meskipun mengakui imunitas negara ini, tetapi juga sekaligus membatasinya. Hukum internasional regional di Eropa misalnya memiliki the European Convention on State Immunity (16 Mei 1972). Konvensi beranggotakan Austria, Belgia, Belanda, Siprus, Jerman, Inggris, Luxemburg, dan Swis.

Hukum internasional juga mensyaratkan negara-negara untuk bekerjasama dengan negara lain untuk memajukan ekonomi. Deklarasi mengenai prinsip-prinsip hukum internasional antara lain
menyatakan bahwa:

“... states have the duty to co-operate with one another, irrespective of the difference in their political, economic and social system,...”

Kedua, pembatasan oleh hukum nasional. Dewasa ini beberapa negara memiliki UU mengenai imunitas yang sifatnya membatasi imunitas negara-negara (asing) yang melakukan transaksi dagang di dalam wilayahnya atau dengan warga negaranya. Negara-negara yang memiliki UU seperti ini misalnya: Canada (State Immunity Act
1982); Australia (Foreign States Immunity Act 1985), Amerika

Serikat (Foreign Sovereign Immunities Act 1976), dan Inggris

(State Immunity Act 1978).

UU Inggris tahun 1978 menyatakan bahwa suatu negara tidak dapat lagi mengklaim imunitasnya dalam persidangan yang terkait dengan:

(a) sengketa-sengketa mengenai transaksi komersial (dagang)

yang dilakukan oleh suatu negara;

(b) sengketa-sengketa yang lahir dari adanya kontrak yang dilaksanakan sebagian atau seluruhnya di Inggris;

(c) kontrak-kontrak ketenagakerjaan yang dibuat di Inggris atau yang berkaitan dengan jasa-jasa yang dilaksanakan sebagian atau seluruhnya di Inggris;

(d) tindakan-tindakan mengenai tort (dalam sistem hukum kita semacam perbuatan melawan hukum) untuk menuntut ganti rugi karena meninggal, luka-luka, atau kerugian terhadap harta benda, di mana tindakan tersebut terjadi di Inggris;
(e) sengketa-sengketa yang terkait dengan keanggotaan dalam suatu perusahaan baik yang terdaftar atau yang memiliki kegiatan usaha utamanya di Inggris;

(f) sengketa-sengketa yang terkait dengan klaim-klaim pengangkutan di laut terhadap kapal atau muatan atau yang digunakan untuk tujuan-tujuan komersial; dan

(g) sengketa-sengeta yang terkait dengan perpajakan atau cukai.

Ketiga, pembatasan secara diam-diam dan sukarela. Pembatasan ini dianggap terjadi manakala suatu negara secara sukarela menundukkan dirinya ke hadapan suatu badan peradilan yang mengadili sengketanya. Apabila pengadilan memanggil negara tersebut untuk mengadiri persidangan dan negara tersebut mematuhinya, maka negara tersebut dianggap telah dengan sukarela menanggalkan imunitasnya.

Keempat, kemungkinan lain yang menjadi indikasi pembatasn imunitas ini adalah apabila negara memasukkan klausul arbitrase ke dalam kontrak dagangnya. Dengan demikian dapat dianggap bahwa negara tersebut telah menanggalkan imunitasnya untuk menghadap ke badan arbitrase yang dipilihnya untuk menyelesaikan sengketa dagangnya.

Dengan adanya pembatasan-pembatasan tersebut, kekebalan suatu negara untuk hadir di hadapan badan peradilan (nasional asing, internasional atau arbitrase) tidak lagi berlaku. Namun masalah sesungguhnya dalam kaitanya dengan pembatasan negara di hadapan badan peradilan adalah pelaksanaan putusan pengadilannya. Hal inilah yang menjadi nasalah utama yang justru sangat krusial.
Percumalah doktrin dan aturan-aturan mengenai imunitas ini
apabila di kemudian hari ternyata putusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan.

Berdasarkan hukum internasional, suatu badan peradilan tidak dapat menyita harta milik negara lain atau memaksakan putusannya terhadap harta milik negara lain yang digunakan atau yang memiliki fungsi pelayanan publik (public services).14 Hukum internasional melarang suatu negara menahan kapal perang asing yang sedang menyandar di pelabuhan suatu negara asing atau menyita bangunan kedutaan negara asing.

Menurut Houtte, pelaksanaan putusan pengadilan hanya memungkinkan terhadap aset-aset yang negara asing yang bersangkutan tidak dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi-fungsi
pelayanan publik.


C. Organisasi Perdagangan Internasional

1. Organisasi Internsional Antar Pemerintah (Publik)17


Organisasi internasional yang bergerak di bidang perdagangan internasional memainkan peran yang signifikan. Organisasi internasional dibentuk oleh dua atau lebih ngara guna mencapai tujuan bersama.

Untuk mendirikan suatu organisasi internasional perlu dibentuk suatu dasar hukum yang biasanya adalah perjanjian internasional. Dalam perjanjian inilah termuat tujuan, fungsi, dan struktur organisasi perdagangan internasional yang bersangkutan.

Biasanya peran organisasi internasional dalam perdagangan internasional kurang begitu signifikan. Memang organisasi internasional membeli kebutuhan-kebutuhannya dari penjual (procurement). Misalnya komputer, peralatan kantor/administrasi, telekomunikasi, transportasi, dll.

Namun procurement organisasi internasional tidak terlalu besar kuantitasnya. Dari segi hukum perdagangan internasional pun organisasi seperti ini lebih banyak bergerak sebagai regulator. Dalam kapasitasnya ini organisasi internasional lebih banyak mengeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat rekomendasi dan guidelines. Biasanya pun aturan-aturan seperti rekomendasi atau guidelines tersebut lebih banyak ditujukan kepada negara. Jarang
dimaksudkan untuk mengatur individu.

Di antara berbagai organisasi internasional yang ada dewasa ini, organisasi perdagangan internasional di bawah PBB,20 seperti UNCITRAL atau UNCTAD. UNCITRAL adalah organisasi internasional yang berperan cukup penting dalam perkembangan hukum perdagangan internasional.

Badan ini didirikan pada tahun 1966 berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2205 (XXI), 12 Desember 1966. Tujuan atau mandat utama badan ini adalah mendorong harmonisasi dan unifikasi hukum perdagangan internasional secara progresif.

Dalam upayanya tersebut UNCITRAL disyaratkan juga untuk mempertimbangkan kepentingan semua negara khususnya negara sedang berkembang dalam mengembangkan perdagangan internasional secara ekstensif. Dalam teks aslinya, mandat dalam Resolusi tahun 1966 tersebut berbunyi:

“With a mandate to further the progressive development of the law of internatonal trade and in that respect to bear in mind the interests of all people, in particular those of developing countries, in the extensive development of international trade.”


UNCITRAL misalnya, telah melahirkan Vienna Convention on the International Sale of Goods (1980); Convention on the international Multi-moda Transport (1980); UNCITRAL Arbitration Rules (1976); UNCITRAL Model Law on Arbitration (1985), dll.

UNCTAD telah melahirkan berbagai kesepakatan internasional di bidang perdagangan yang juga cukup penting, antara lain misalnya: UN Convention on a Code of Conduct for Liner Conference (1974); GSP (1968); UN Convention on Carriage of Goods by Sea (1978).
Di luar keluarga PBB, organisasi perdagangan internasional yang dewasa ini berpengaruh luas adalah GATT (1947). GATT dengan

ke-38 pasalnya semula hanya mengatur tarif dan perdagangan. Perannya pada tahun 1994 digantikan oleh WTO.

Lahirnya WTO, bidang pengaturannya menjadi sangat luas. Hampir semua sektor perdagangan, jasa, penanaman modal, hingga hak atas kekayaan intelektual, menjadi bidang cakupan pengaturan
(perjanjian) WTO.


2. Organisasi Internasional Non-Pemerintah

Di samping organisasi internasional antar pemerintah di atas, terdapat subyek hukum lainnya yang juga cukup penting yaitu NGO (Non-Governmental Organization) swasta (non-pemerintah atau yang kerap kali disebut pula dengan LSM internasional).

NGO Internasional dibentuk oleh pihak swasta (pengusaha) atau asosiasi dagang. Peran penting NGO dalam mengembangkan aturan-aturan hukum perdagangan internasional tidak dapat dipandang dengan sebelah mata. Misalnya, ICC (International Chamber of Commerce atau Kamar Dagang Internasional), telah berhasil merancang dan melahirkan berbagai bidang hukum perdagangan dan keuangan internasional, misalnya: INCOTERMS, Arbitration Rules dan Court of Arbitration, serta Uniform Customs and Practices for Documentary Credits (UCP).

Khusus untuk UCP, misalnya, aturan-aturannya sekarang sudah menjadi acuan hukum sangat penting bagi pengusaha dalam melaksanakan transaksi perdagangan internasional. Aturan-aturan UCP yang terkait dengan sistem pembayaran melalui perbankan telah ditaati dan dihormati oleh sebagian besar pengusaha-pengusaha besar di dunia.

Gambaran lainnya adalah ICC Arbitration Rules. Banyak pengusaha besar di dunia telah memanfaatkan aturan arbitrase ICC untuk menyelesaikan sengketa-sengketa dagang mereka. Dalam klausul-klausul kontrak dagang internasional, para pengusaha telah cukup banyak mencantumkan klausul arbitrase dengan mengacu kepada ICC Arbitration Rules untuk hukum acara badan
arbitrasenya.


D. Individu

Individu atau perusahaan adalah pelaku utama dalam perdagangan internasional. Adalah individu yang pada akhirnya akan terikat oleh aturan-aturan hukum perdagangan internasional. Selain itu, aturan-aturan hukum yang dibentuk oleh negara memiliki tujuan untuk memfasilitasi perdagangan internasional yang dilakukan individu.

Dibanding dengan negara atau organisasi internasional, status individu dalam hukum perdagangan internasional tidaklah terlalu penting. Biasanya individu dipandang sebagai subyek hukum dengan sifat hukum perdata (legal persons of a private law nature).

Individu itu sendiri hanya (akan) terikat oleh ketentuan- ketentuan hukum nasional yang negaranya buat. Karena itu individu tunduk pada hukum nasionalnya (tidak pada aturan hukum perdagangan internasional). Dia pun hanya dapat mempertahankan hak dan kewajibannya yang berasal dari hukum nasionalnya tersebut di hadapan badan-badan peradilan nasional.

Negara jarang sekali membuat kesepakatan-kesepakatan yang mengikat individu. Umumnya kesepakatan negara-negara hanya mengikat mereka. AFTA antara lain adalah organisasi yang hanya mengatur komitmen negara-negara anggotanya saja. Dalam hukum perdagangan internasional, ia adalah subyek hukum dalam arti yang terbatas.
Apabila individu merasa bahwa hak-hak dalam bidang perdagangannya terganggu atau dirugikan, maka yang dapat ia lakukan adalah meminta bantuan negaranya untuk memajukan klaim terhadap negara yang merugikannya ke hadapan badan-badan
peradilan internasional. Mekanisme seperti ini misalnya tampak pada GATT/ WTO dan Mahkamah Internasional.

Hanya dalam keadaan-keadaan tertentu saja suatu individu dapat mempertahankan hak-haknya berdasarkan suatu perjanjian internasional. Individu misalnya diperkenankan untuk mengajukan tuntutan kepada negara berdasarkan Konvensi ICSID.

Konvensi ICSID mengakui hak-hak individu untuk menjadi pihak di hadapan badan arbitrase ICSID. Namun demikian hak ini bersifat terbatas. Pertama, sengketanya hanya dibatasi untuk sengketa-sengketa di bidang penanaman modal yang sebelumnya tertuang dalam kontrak.

Kedua, negara dari individu yang bersangkutan harus juga disyaratkan untuk telah menjadi anggota Konvensi ICSID (Konvensi Washington 1965). Persyaratan ini sifatnya mutlak. RI telah meratifikasi dan mengikatkan diri terhadap Konvensi ICSID melalui UU Nomor 5 tahun 1968.

Status individu sebagai subyek hukum perdagangan internasional tetaplah tidak boleh dipandang kecil. Aturan-aturan di bidang perdagangan yang mereka buat sendiri kadang-kadang memiliki kekuatan mengikat seperti halnya hukum nasional.

Contoh nyata adalah aturan-aturan yang tergolong ke dalam Lex Mercatoria atau hukum para pedagang. Salah satu wujudnya, seperti telah diutarakan di atas, adalah the Uniform Customs and Practice for Documentay Credit (UCP). Meskipun UCP tidak diundangkan sebagaimana layaknya hukum nasional, namun para pengusaha sangat menghormati dan menaati ketentuan-ketentuan dalam UCP.

Disebutkan di atas bahwa individu adalah subyek hukum dengan sifat hukum perdata (legal persons of a private law nature). Subyek hukum lainnya yang termasuk ke dalam kategori ini adalah (a) perusahaan multinasional; dan (b) bank.



1 Perusahaan Multinasional

Perusahaan multinasional (MNCs atau Multinational Corporations) telah lama diakui sebagai subyek hukum yang berperan penting dalam perdagangan internasional. Peran ini sangat mungkin karena kekuatan finansial yang dimilikinya. Dengan kemampuan finansialnya, hukum (perdagangan) internasional berupaya mengaturnya.

Pasal 2 (2) (b) Piagam Hak dan Kewajiban Ekonomi Negara- negara antara lain menyebutkan bahwa MNCs tidak boleh campur tangan terhadap masalah-masalah dalam negeri dari suatu negara. Pasal 2 (2) (b) Piagam antara lain berbunyi sebagai berikut: “... Transnational corporation shall not intervene in the internal affairs of a host State.”

Alasan pengaturan ini tampaknya masuk akal. Tidak jarang MNCs seperti Freport McMoran Company (yang beroperasi di Papua), Mitsubishi, atau MNCs di bidang telekomunikasi, ABC, CNN, Singapore Telecommunication (Singtel yang memiliki saham mayoritas PT Indosat), sedikit banyak dapat mempengaruhi situasi dan kondisi politik dan ekonomi di Indonesia.

Kekuatan dan kekayaan yang sangat besar ini memang dapat berdampak yang cukup besar. The Economist menggambarkan dengan tepat peran dan keberadaan MNCs:

“Many people ... now think of multinationals as more powerful than nation states, and see them as bent on destroying livelihoods, the environment, left-wing political opposition and anything else that stands in the way of their profits.”


Perlunya aturan-aturan yang mengontrol aktivitas MNCs memang perlu untuk menjembatani perbedaan kepentingan.
kepentingan negara tuan rumah, apalagi negara sedang berkembang, biasanya adalah mengharapkan masuknya MNCs ke dalam wilayah negaranya dapat memberi kontribusi bagi pembangunannya.

Sedangkan perspektif MNCs berbeda. Sebagaimana halnya dengan perusahaan umumnya, MNCs bertujuan mencapai target utama perusahaan, yaitu mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Karena itu agar kedua kepentingan ini pada titik tertentu dapat bertemu, maka perlu aturan-aturan hukum untuk menjembataninya.

2. Bank

Memang agak mengherankan bahwa para sarjana memasukkan bank sebagai subyek hukum dengan kategori private law nature. Sama seperti individu atau MNCs, bank dapat digolongkan sebagai subyek hukum perdagangan internasional dalam arti yang terbatas. Bank pun tunduk pada hukum nasional di mana bank tersebut didirikan.

Yang membuat subyek hukum ini penting adalah:

(a) peran bank dalam perdagangan internasional dapat dikatakan sebagai pemain kunci. Tanpa bank, perdagangan internasional mungkin tidak dapat berjalan.

(b) Bank menjembatani antara penjual dan pembeli yang satu sama lain mungkin saja tidak mengenal karena mereka berada di negara yang berbeda. Perannya di sini adalah peran bank dalam memfasilitasi pembayaran antara penjual dan pembeli.

(c) Bank berperan penting dalam menciptakan aturan-aturan hukum dalam perdagangan internasional khususnya dalam mengembangkan hukum perbankan internasional. Salah satu instrumen hukum yang bank telah kembangkan adalah sistem pembayaran dalam transaksi perdagangan internasional. Misalnya adalah terbentuknya ‘kredit berdokumen’ yang disebut ‘documentary credit’. Mekanisme dan praktek ini kemudian dikodifikasi dan
dirumuskan secara sistematis oleh ICC menjadi UCP (di atas).


E. Penutup

Uraian di atas menggambarkan stake-holders, aktor, atau subyek hukum dalam hukum perdagangan internasional, yaitu negara, organisasi internasional dan individu (yang terdiri dari perusahaan multinasional dan bank).

Subyek-subyek hukum tersebut di atas menunjukkan terbatasnya subyek hukum dalam hukum perdagangan internasional. Hal ini tidak terlepas dari realita pragmatis dari perdagangan internasional.

Imunitas negara dengan statusnya sebagai subyek hukum penuh atau lengkap dalam hukum perdagangan internasional tampak semakin terbatas. Hukum nasional, hukum internasional, dan penundukan diri kepada suatu lembaga peradilan (arbitrase) menghendaki dan mensyaratkan tidak mungkinnya bagi suatu negara untuk membawa atribut imunitasnya dalam perdagangan internasional.
Dari ketiga stake-holders hukum perdagangan internasional, yang paling unik adalah bank. Bank hanyalah suatu lembaga keuangan. Ia bukan pelaku utama perdagangan internasional. Fungsinya menjembatani dan memfasilitasi pembayaran antara penjual dan pembeli. Namun demikian bank telah menciptakan suatu praktek kebiasaan di bidang perdagangan yang mengikat stake- holders lainnya yang berhubungan dengannya.




DAFTAR PUSTAKA

Booysen, Hercules, International Trade Law on Goods and Services, Pretoria: Interlegal, 1999.
Curmi, George, “The Role of the Internatonal Chamber of Commerce,” dalam J. Reuvid (ed.), The Strategic Guide to International Trade, London: Kogan Page, 1997.
Houtte, Hans Van, The Law of International Trade, London: Sweet and Maxwell, 1995.
Islam, Rafiqul, International Trade Law, NSW: LBC, 1999. Meerhaeghe, M.A.G., International Economic Institutions, The
Netherlands: Kluwer, 1998, 7th.ed., 1998.
Ryan, Michael P., W.C. Lenhardt and K. Tamai, “International Governmental Organization: Knowledge Management for Multilateral Trade Law Making,” 15 Am. U.J.Int’l.L. Rev
1360 (2000).
Sheldrick, Andrew W., “Capacity, sovereign immunity and acts of state,” dalam: Lew and Stanbrook, Interational Trade: Law and Practice, Bath: Euromoney, 1983.
The Economist, “The World’s View of Multinationals,” 29 January
2000.

0 Responses to “SUBYEK HUKUM DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL”

Posting Komentar

All Rights Reserved RoniQueeNet | Blogger Template by Bloggermint